Sleman, tvOnenews.com - Menko Polhukam Mahfud MD menyebut telah menemukan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 300 triliun. Temuan di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai itu melibatkan 460 orang dari 160 laporan.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rochman mengatakan apabila informasi tersebut benar adanya maka hal itu menunjukkan tindak pidana korupsi masih sedemikian besarnya diduga terjadi di Indonesia.
"Yang kedua, negara seakan melakukan pembiaran terhadap tindak pidana korupsi," katanya kepada tvOnenews.com, Kamis (9/3/2023).
Pembiaran yang dimaksud adalah tidak adanya tindakan apapun dari aparat penegak hukum di Indonesia. Salah satu contohnya adalah pembiaran dalam kasus eks pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo (RAT).
Padahal Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sudah melaporkan harta tidak wajar RAT kepada KPK sejak 2012. Namun KPK tidak berbuat apapun, hingga akhirnya kasus ini menjadi perbincangan publik dan KPK baru melakukan penyelidikan.
"Artinya apa? Kinerja penindakan di KPK itu juga ternyata sangat lemah," terang Zen, sapaan akrabnya.
Di samping itu, Kemenkeu sendiri juga tidak melakukan investigasi dan upaya menjatuhkan sanksi meskipun ada pejabatnya yang masuk daftar merah. Hal ini juga menunjukkan tidak adanya penegakan dari sisi etik dan administratif dari lembaga tersebut.
"Jadi secara etik administratif tidak ada langkah penegakan, secara pidana juga tidak ada langkah penindakan. Artinya ini pembiaran yang telah terjadi selama bertahun-tahun, baru ramai ketika ada kasus penganiayaan yang diduga dilakukan oleh anak RAT," ungkapnya.
Zen melihat ada beberapa hal yang menyebabkan pembiaran itu bisa terjadi. Pertama, kurangnya instrumen hukum untuk menjerat penyelenggara negara yang memiliki harta tidak wajar.
Saat ini yang bisa dilakukan hanya dengan menindak menggunakan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah ditemukan unsur korupsinya, baru bisa dijerat dengan undang-undang pencucian uang.
"Tapi itu semua tidak mudah karena harus menemukan dulu predikat crime-nya," ujarnya.
Di sisi lain, Indonesia juga tidak memiliki undang-undang perampasan aset kejahatan. Sehingga ketiadaan aturan yang efektif membuat banyak penyelanggara negara yang memiliki rekening gendut susah tersentuh hukum karena kesulitan mencari alat bukti.
Dari temuan transaksi mencurigakan Rp 300 triliun itu, Zen memberikan catatan tersendiri. Ia meminta kasus ini jangan sampai menguap begitu saja, isinya redup, dan kemudian hilang.
Harus ada langkah nyata dari negara untuk menunjukkan keseriusan pemberantasan korupsi dan mengembalikan hasil kejahatan ke negara.
"Dari sisi regulasi negara sangat urgent untuk segera mengesahkan RUU perampasan aset hasil kejahatan dan dipasangkan dengan RUU pemberantasan transaksi uang kartal agar semua transaksi melalui perbankan sehingga terpantau oleh PPATK," bebernya.
Selain itu, Zen juga mendesak KPK untuk segera bergerak melakukan investigasi dan telaah apabila diduga ada tindak pidana korupsi dalam temuan tersebut. Kemudian menaikkan ke tahap penyelidikan untuk mencari barang bukti.
"Ini juga menjadi ujian bagi KPK karena KPK juga kinerjanya sangat buruk akhir-akhir ini. Ini menjadi tugas dari KPK," tegasnya.
Selain itu, Zen juga berharap kasus ini menjadi momen bersih-bersih di lingkungan Kementerian Keuangan. Termasuk melakukan investigasi besar-besaran secara mendasar agar dapat mengungkap siapa saja yang terlibat dalam transaksi mencurigakan Rp 300 triliun tersebut.
"Jadi tidak boleh hanya berhenti kepada RAT saja, ini harus menjadi bersih-bersih yang total untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Tanpa ada langkah nyata yang mendasar ya masyarakat melihat ini hanya satu orang yang diproses, seakan-akan menjadi sedang apes saja tapi bukan suatu reformasi yang sistemik di Kementerian Keuangan," pungkasnya. (Apo/Buz).
Load more