Mengapa Pelaku Lokal Menjadi Kunci Utama Penanganan Bencana di Indonesia
- Antara
Pernyataan ini mempertegas realitas di lapangan, di mana kedekatan geografis dan sosial menjadi keunggulan utama pelaku lokal.
Berangkat dari pengalaman respon banjir dan longsor di Sumatera, kongres menyoroti peran komunitas dan organisasi lokal sebagai aktor kunci dalam fase darurat hingga pemulihan.
Pemahaman terhadap kondisi sosial-budaya, jejaring komunitas yang kuat, serta kepercayaan masyarakat membuat bantuan yang disalurkan lebih tepat guna, adil, dan bermartabat. Hal ini sejalan dengan praktik di negara-negara maju yang menempatkan local knowledge sebagai bagian penting dari standar kemanusiaan.
Melalui berbagai sesi diskusi, peserta kongres membedah tantangan dan peluang membangun koordinasi kemanusiaan yang lebih setara. Isu kepercayaan, pembagian peran yang jelas, serta kolaborasi lintas aktor, mulai dari organisasi masyarakat sipil, komunitas, pemerintah, dunia usaha, hingga mitra internasional, menjadi sorotan utama.
Kongres menegaskan bahwa kolaborasi tidak boleh menghapus inisiatif lokal, tetapi justru memperkuatnya. Sebagai hasil utama, Kongres Kemanusiaan Indonesia ke-3 merumuskan lima arah penguatan sistem kemanusiaan nasional.
Salah satunya adalah mendorong kepemimpinan pelaku lokal sebagai inti koordinasi kemanusiaan melalui penguatan IHCP yang mandiri, akuntabel, dan legitimate. Transformasi ekosistem sumber daya kemanusiaan juga ditekankan, termasuk diversifikasi pendanaan serta akses yang lebih setara bagi pelaku lokal terhadap dana publik, CSR, dan internasional.
Selain itu, penguatan kapasitas dan standar kemanusiaan nasional menjadi agenda penting melalui pengembangan berkelanjutan organisasi masyarakat sipil lokal, penerapan Kerangka Kerja Kemanusiaan Indonesia, serta integrasi kearifan lokal dengan standar global.
Dari sisi kebijakan, kongres mendorong lahirnya kebijakan kemanusiaan nasional yang lebih eksplisit dan kolaboratif, yang mengakui masyarakat sipil sebagai mitra setara pemerintah. Di tingkat global, kongres juga menegaskan komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam reformasi sistem kemanusiaan kawasan dan dunia.
“Kongres ini bukan titik selesai, melainkan titik tolak. Ukuran keberhasilan kita bukan pada seberapa rapi sistem yang dibangun, tetapi pada seberapa banyak martabat manusia yang berhasil kita jaga,” ungkap Convener AP-KI, M. Ali Yusuf (Gus Ali).
Masa depan penanganan bencana dan kerja-kerja kemanusiaan tidak bisa lagi bertumpu pada pendekatan sentralistik dan reaktif. Kepemimpinan pelaku lokal harus ditempatkan sebagai poros utama, karena merekalah yang paling memahami konteks, risiko, dan kebutuhan penyintas.
Load more