Berantas Mafia Musik Era Digital, Musisi Indramayu Punya Cara Tersendiri
- pexels
Jakarta, tvOnenews.com - Upaya memberantas mafia digital yang selama bertahun-tahun merampas hak ekonomi dan moral para musisi daerah terus dilakukan.
Owner PT Musicplus Media Indonesia, dan pengembang aplikasi Triandika Yuniar muncul dengan tekad memberantas mafia digital dengan membangun Playlist Music berupa sebuah platform agregator musik yang diklaim pertama di Indonesia dan telah terdaftar resmi di HAKI.
Ide besar ini bermula dari satu kenyataan pedih melihat kondisi musisi daerah, terutama tarling, sering menjadi korban. Lagu-lagu mereka di-download, didaftarkan ulang oleh pihak lain ke platform luar negeri, lalu menghasilkan uang dari iklan sementara penciptanya tak mendapat sepeser pun.
“Saya pernah datang ke rumah seorang pencipta lagu di Indramayu. Karyanya fenomenal, tapi kondisi rumahnya sangat memprihatinkan. Pencipta bingung, artisnya bingung, sementara yang menikmati justru mafia digital," kata Richo, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Kisah buram itu bukan satu-dua kali terjadi. Beberapa penyanyi daerah bahkan mencetak jutaan tayangan di YouTube, namun pencipta dan penyanyinya sama-sama tidak mendapatkan royalti.
Sistem digital yang tidak rapi membuat mereka tertipu, saling menyalahkan, dan kehilangan hak ekonomi.
“Padahal yang mengambil itu mafia digital. Mereka bekerja berkelompok, mendownload audio, mendaftarkan ke platform luar, lalu menikmati AdSense. Seniman tidak dapat apa-apa,” ujarnya.
Ia menjelaskan playlist music hadir sebagai agregator distribusi musik yang terhubung langsung dengan Spotify, TikTok, YouTube, Langit Musik, dan platform musik lainnya. Di aplikasi ini, artis, pencipta, peng cover, hingga produser bisa membuat akun sendiri.
Ia mengatakan jika seorang produser ingin membuat ulang lagu artis tertentu dapat memilih lagu yang ada di aplikasi, kemudian checkout dan membayar melalui payment gateway hingga menerima lisensi resmi.
Namun, ia menegaskan, lagu yang dibeli untuk remake hanya berlaku untuk satu kali dan diunggah ke platform digital secara legal.
“Semua transparan. Royalti dan lisensi langsung masuk ke pencipta,” kata Richo.
Menurutnya, dengan cara ini musisi yang ingin meng-cover lagu viral pun bisa bekerja sama secara legal dengan artis atau pencipta, meski tanpa biaya besar hingga pencipta mengetahui penggunaannya dan tetap memiliki hak atas karyanya.
Richo menekankan bahwa platform ini bukan sekadar aplikasi melainkan gerakan advokasi.
“Kita di dunia digital saja belum rapi. Orang memakai tarling seenaknya tanpa membayar hak moral dan hak ekonomi. Melalui Playlist Music, kami ingin menertibkan ekosistem itu,” ujarnya.
Platform ini diyakini secara otomatis mencegah mafia digital mendaftarkan ulang audio orang lain. Begitu musisi terverifikasi di Playlist Music karya mereka terlindungi secara global.
“Dian Anic hanya mengandalkan panggung dari kota ke kota. Sementara dolar dari digital justru masuk ke pihak yang mencuri,” kata Richo.
Ia mengatakan platform Playlist Music rencana resmi diluncurkan pada awal 2026. Selain menjadi platform distribusi, Richo berkomitmen melakukan edukasi ke musisi-musisi daerah, terutama pemain organ tunggal yang selama ini rentan menjadi korban.
“Tujuan kami jelas: mengadvokasi seniman. Hak digital harus dipenuhi. Royalti harus jelas. Semua harus legal,” ujarnya.
Dengan fitur pelaporan lengkap, sistem pembagian royalti otomatis, dan akses distribusi global, Playlist Music ingin menjadi rumah besar bagi musisi daerah yang selama ini tertinggal, sekaligus benteng melawan pencurian karya.
“Yang biasanya hanya artis yang terdaftar, sekarang semua bisa. Satu grup atau individu, semua punya akses dan perlindungan,” tambahnya. (raa)
Load more