Hadir di Mahkamah Konstitusi, Penyintas Thalasemia: Kami Mencari Keadilan
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Fadel Nooriandi seorang penyintas Thalassemia hadir sebagai saksi sidang di Mahkamah Kontitusi (MK) yang membahas perluasan definisi fisik bagi kondisi kronis tak tampak.
Sejak berusia delapan bulan, Fadel harus menjalani transfusi darah rutin seumur hidup akibat Thalassemia Mayor penyakit genetik yang menyebabkan tubuh tidak dapat memproduksi hemoglobin secara normal.
Namun di balik perjuangan medis yang panjang, Fadel juga harus menghadapi kenyataan sosial yang tidak kalah berat yakni diskriminasi, stigma, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan maupun pekerjaan.
“Bagi saya yang paling berat bukan transfusinya. Yang paling berat adalah membuktikan kepada masyarakat bahwa kami tetap mampu. Banyak dari kami yang ditolak bekerja hanya karena hasil pemeriksaan medis, dianggap tidak kompeten hanya karena tubuh kami berbeda," kata Fadel di hadapan Majelis Hakim, Jakarta, Rabu (22/10/2025).
"Maka banyak dari teman-teman kami yang memiliki riwayat penyakit sebagian besar banyak yang putus sekolah, tidak diterima kerja jadi mereka menjadi wirausaha kecil, pengemudi ojek online bahkan mengangur," sambungnya.
Menurut data Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) hanya sekitar 30 persen penyintas Thalassemia dewasa yang memiliki pekerjaan tetap, sementara lebih dari 60 persen mengalami penolakan di tahap pemeriksaan kesehatan pra-kerja.
Hambatan serupa juga dialami di dunia pendidikan, di mana siswa dengan Thalassemia kerap dianggap tidak disiplin karena harus rutin ke rumah sakit untuk transfusi.
Dalam keterangannya, Fadel menggambarkan bagaimana perjuangan hidup dengan Thalassemia membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan reflektif.
“Saya tumbuh di antara jarum transfusi dan tatapan stigma tapi setiap kali saya lemah, saya ingat teman-teman seperjuangan yang sudah berpulang.
Kami pernah duduk bersama di ruang transfusi, berbagi rasa takut dan harapan. Kini, hanya nama mereka yang tersisa," katanya.
Fadel menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk generasi setelahnya agar tidak lagi kehilangan hak pendidikan maupun pekerjaan karena kondisi yang tak kasat mata.
Dalam kesempatan itu, Fadel juga menyerukan agar negara harus hadir secara nyata untuk melindungi kelompok dengan kondisi kronis seperti Thalassemia dan penyakit tak tampak lainnya.
Ia mendorong agar regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas mencakup kondisi kronis tak tampak sebagai bagian dari disabilitas.
“Negara harus hadir untuk memastikan keadilan yang setara bagi semua warga agar kami yang hidup dengan kondisi kronis tidak lagi diperlakukan berbeda di sekolah, di tempat kerja, atau di lingkungan masyarakat,” ujarnya.
Menutup kesaksiannya, Fadel menyampaikan pesan yang menggugah hati bukan hanya sebagai penyintas, tapi sebagai simbol keteguhan hidup.
"Kami bukan hanya kumpulan luka, kami adalah arsitektur dari keberanian. Kami bukan sekedar penyintas, kami adalah cahaya yang menolak padam," kata Fadel.
“Kami tidak mencari simpati, kami mencari keadilan karena ikhtiar perjuangan yang tak terlihat pun tetap nyata. Kondisi tak kasat mata bukan berarti tak ada. Kami hanya ingin hidup dengan martabat," pungkasnya. (raa)
Load more