IPR Jadi Sorotan, Pemprov NTB Diminta Beri Prioritas Perizinan
- ANTARA
Jakarta, tvOnenews.com - Isu pertambangan rakyat di Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi masalah serius karena menyangkut nasib ribuan penambang kecil yang bergantung pada aktivitas tersebut untuk penghidupan.
Meskipun Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba serta peraturan turunannya, namun implementasi di daerah kerap tersendat.
"NTB adalah contoh nyata bagaimana lambannya birokrasi dapat menimbulkan cakrawala sekaligus memperlebar kesenjangan hukum antara kebijakan pusat dengan kenyataan di lapangan," kata Sekjen Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Kammi), Nazmul Wathan, Jakarta, Senin (8/9/2025).
Lambatnya IPR oleh Pemprov NTB menyebabkan penambang rakyat terus beroperasi dalam kondisi abu-abu secara hukum.
Mereka bekerja di wilayah tambang tanpa perlindungan hukum, sehingga rentan terhadap kriminalisasi, kecelakaan kerja, hingga konflik sosial dengan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
"Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara niat regulasi yang ingin melindungi rakyat, dengan kinerja pemerintah daerah yang kurang responsif," tutur Nazmul.
Nazmul menjelaskan kondisi tersebut kontras dengan semangat yang sering digaungkan di tingkat nasional.
Padahal, Presiden RI, Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menegaskan komitmennya untuk mendukung pertambangan rakyat.
Baginya, sektor ini bukan sekadar soal eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga instrumen pemerataan ekonomi, pemberdayaan desa, serta pengurangan ketergantungan masyarakat pada pekerjaan informal yang rawan konflik.
"Komitmen Prabowo tercermin dari arah kebijakan energi dan sumber daya alam yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama, bukan sekadar penonton di industrialisasi tambang," ungkap Nazmul.
Nazmul menuturkan disaat Prabowo menekankan bahwa pertambangan rakyat harus diberi tempat yang ramah dalam ekosistem minerba, Pemprov NTB justru terlihat lamban seolah-olah terjebak dalam pola lama yang lebih mementingkan kepentingan birokrasi dibandingkan kepentingan rakyat kecil.
"Lambannya izin ini tidak hanya menunda legalitas, tetapi juga berimplikasi pada hilangnya potensi penerimaan daerah karena aktivitas rakyat tidak tercatat secara resmi," ujar Nazmul.
Fenomena demikian menunjukkan lemahnya fungsi desentralisasi. Otonomi daerah seharusnya memberi keleluasaan bagi Pemprov NTB untuk menyesuaikan regulasi pusat dengan kondisi lokal.
Load more