Seabad Pramoedya Ananta Toer: Imajinasi Pemuda dan Mereka yang Menemani Pram Hingga Akhir Hayat
- ANTARA
Jakarta, tvonenews.com-Sastrawan Indonesia satu satunya kaliber Nobel, Pramoedya Ananta Toer pada 6 Februari lalu (jika masih hidup) genap berusia seabad.
Pada adiknya, Soesilo Toer, Pramoedya pernah berkata, ingin punya umur panjang, minimal 100 tahun. Alasannya, ia ingin melihat bagaimana zaman yang telah meng-kuyo kuyo (menganiaya) dirinya akan kukut dan bubaran satu satu.
Sebagian cita citanya memang terlaksana. Ia bisa melihat rezim Soeharto jatuh pada 1998. Pramoedya juga semakin dihargai di dalam negeri dan mancanegara. Tiga tahun sebelum penguasa Orde Baru jatuh, Pramoedya diganjar hadiah Magsaysay yang disebut Nobel Asia. Namanya juga selalu masuk dalam kandidat anugerah Nobel Sastra, meski hingga akhir hayatnya juri panitia Nobel tetap diskriminatif pada sastra dari Asia Tenggara.
Namun, buku-bukanya tak lagi dilarang atau diedarkan sembunyi sembunyi, tapi jadi bagian dari gaya hidup anak anak muda. Kutipan dari Tetralogi Pulau Buru, berseliweran di media sosial. Bak Duta Besar Sastra Indonesia, Pramoedya mengunjungi New York, Amerika Serikat. Ia sibuk menemui pembaca buku bukunya di negeri Abang Sam. Buku catatan harian selama di Pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diluncurkan di Hyperion, New York City.
Pramoedya kita tahu pada akhirnya menyerah di usia 81 tahun. Persisnya tak pernah benar benar menyerah. Ia selalu menolak takluk pada apapun, rezim, penyakit, juga usia tua. Ketika Soesilo Toer menyemangati—seperti ditulis dalam Catatan Harian oleh Muhidin Dahlan, anak muda yang selalu ada di sekitar Pram (bersama Mujib Hermani) dan menjaga Pram hingga akhir hayat—Pram sudah tergolek lemah. Sepekan lebih tak ada makanan yang masuk ke tubuhnya. Ia juga menolak selang makanan yang akan disuntikkan ke tubuhnya. Gula darahnya sundul hingga 800 mg/dl. Badan kekarnya susut tajam. Pram terus terusan mengerang.
Seperti ditulis Muhidin Dahlan dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Yang Berumah dalam Buku, mata Pram berbinar ketika gerombolan pemuda datang.
Dalam keadaan payah, ia tetap berusaha mengapresiasi anak anak muda. Ketika Mujib cs datang sambil membawa undangan Front Perjuangan Pemuda Indonesia yang meminta Pramoedya memberikan pidato di pertemuan mereka Pram berseru; “Pemuda harus berani melahirkan pemimpin”.
Meski payah, ia menolak ke rumah sakit. Suatu ketika keluarga berhasil membujuknya untuk kontrol ketika rasa sakitnya semakin parah. Baru menginap beberapa saat, Pramoedya sudah mencabuti selang selang infus dan meminta pulang ke rumahnya di Rawamangun, Jakarta Timur.
Ia hanya mau dirawat di rumah sambil terus menerus meminta api untuk menyalakan rokoknya. Sesekali ia juga meminta untuk membakar sampah, aktivitas kesukaannya yang didapat saat dalam tahanan. Anak anak muda yang menjaga Pram, sesekali mengabulkan, memberikan rokok untuk dihisap Pram karena tahu betapa keras kepalanya Pram.
Pada 30 April 2006, ketika anak anak muda yang piket di rumah Pram sejak tanggal 27 April 2006 kelelahan, Pram mengejang. Ia berteriak memanggil semuanya yang biasa menemaninya. Pada pukul 08:49 wib, ditemani sembilan pemuda (Mujib Hermani, Taufik Rahzen, Chavchay Saifullah, Muhidin, Binhad Nurrohmat,Dinaldo, Zen, Ella, Judis), anak anak rohani dan ideologis Pram, juga keluarga, Pram meninggal dunia dengan wajah tenang. “Chavchay nampak berdoa dan Mujib menangis sesenggukan,” tulis Muhidin sesaat setelah kepergian Pram.
Demikian, jika ada kelas masyarakat yang begitu dibela dan dihormati sepenuhnya oleh Pram adalah kelompok pemuda. Laku hidup dan karya karyanya tak pernah mengesankan ketuaan, kesepian, terasing, reaksioner seperti umumnya orang tua.
Pram adalah anak kandung modernisme. Bagi saya, dengan seluruh karya karyanya ia menolak tua. Ketika generasi dibawahnya ramai ramai menulis dengan skeptis, kenes, genit. Ia tetap menulis dengan terang, jelas, tegas. Karya karyanya jelas bukan permainan bentuk semata, bukan keindahan bunga bunga kalimat. Struktur pikirannya kokoh seperti palu godam, menghantam apapun yang tak disukainya: feodalisme, penghisapan, kebodohan, kolonialisme.
Kini ia bukan hanya akan hidup seratus tahun, mungkin seribu tahun yang akan datang.
Untuk merayakan Seabad Pram, pemuda pemuda di berbagai kota menggelar berbagai acara. Kuburnya di Karet ramai diziarahi pemuda. Di Blora, kampung halamannya, sepotong jalan akan mengabadikan namanya. Karya karyanya diterbitkan ulang dalam bentuk yang lebih manis dan mewah. Dan dalam sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer akan menjadi bab paling tebal yang tak akan selesai dibaca setiap anak bangsa. Selamat menjalani keabadian Bung Pram! (Bajo Winarno)
Load more