Pihak LKBH PPS UI mengemukakan dua argumen utama dalam dokumen tersebut. Pertama, terdapat kelemahan dalam unsur “menerima hadiah” yang didasarkan pada keterangan saksi hearsay, atau kesaksian tidak langsung, yang menurut mereka telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2011.
“Saksi utama yakni Henry Soetio telah meninggal. Saksi-saksi seperti Junaidi, Suroso, dan Christian hanya menyampaikan keterangan yang mereka dengar dari pihak lain, bukan pengalaman atau pengamatan langsung. Selain itu, saksi-saksi dari Pemerintah Kabupaten pun hanya menyampaikan kesaksian yang sifatnya situasional dan tidak terkait langsung dengan inti perkara,” tambah Aristo.
Kelemahan kedua pada kasus ini ialah tidak ditemukan bukti adanya “meeting of minds” atau kesamaan kehendak antara Mardani sebagai penerima suap dan pihak pemberi suap.
“Adanya putusan pengadilan niaga terhadap PT Prolindo juga menjadi indikasi bahwa transaksi antara perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Mardani adalah transaksi bisnis yang sah,” tegas Aristo.
Terakhir, dalam paparannya LKBH PPS UI menegaskan pentingnya peran aktif hakim dalam menggali kebenaran dalam persidangan pidana. Oleh karena itu, mereka berharap dokumen analisis ini dapat menjadi referensi bagi Mahkamah Agung dalam melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kasus ini.
"Kami berharap agar upaya peninjauan kembali ini dapat diterima dan menghasilkan putusan yang mempertimbangkan kelemahan-kelemahan pembuktian yang kami identifikasi. Dokumen ini kami susun sebagai bentuk kontribusi bagi Mahkamah Agung agar dapat mengkaji ulang keputusan tersebut dengan lebih seksama,” ujar Aristo.(chm)
Load more