Kisruh Pengosongan Hotel Sultan, Ini yang Dibeberkan oleh Pontjo Sutowo
- Istimewa
“Kami juga mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Negara melalui Menteri Dalam Negeri RI,” katanya.
Permohonan itu dikabulkan dengan adanya SK Mendagri tanggal 3 Agustus 1972 mengenai pemberian Hak Guna Bangunan kepada PT. Indobuildco atas tanah seluas sekitar 15 hektar.
“Dalam SK itu ditegaskan HGB yang dimaksud merupakan tanah Negara atau bukan tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL),” kata Pontjo.
Begitu juga dengan SK Gubernur DKI Jakarta ketika itu.
Pontjo juga mengatakan bahwa pihaknya telah memiliki dokumen pelepasan hak dari Direktur Gelora Senayan pada tanggal 27 Juli 1972 itu.
“Memang benar, mereka yang membebaskan lahan, tetapi setelah mereka bebaskan, mereka juga yang melepaskan lahan itu,” tegasnya.
Dia menjelaskan, lahan itu diperoleh PT Indobuildco disertai dengan kewajiban PT. Indobuildco untuk membayar kepada Pemda DKI Jakarta, KONI Pusat dan Jakindra sebesar US$ 1.500.000.
Sedangkan terkait pembangunan Gedung Konferensi (Conference Hall) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin dan penunjukkan tanah bekas Jakindra seluas 13 hektar sesuai SK Gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, PT. Indobuildco juga diharuskan membayar kepada Yayasan Gelora Senayan sebesar US$ 6.000.000 sesuai perjanjian antara Yayasan Gelora Senayan dan PT Indobuildco pada Maret 1978.
“Dana itu sesuai arahan Presiden RI tidak boleh dipakai, tetapi merupakan dana abadi bagi kas Yayasan Gelora Senayan dan hanya bunganya yang boleh dipakai,” tegas Pontjo.
Pontjo menyayangkan adanya opini yang dikembangkan seolah Negara tidak memperoleh pemasukan apapun.
Padahal, setiap tahun, pihaknya rutin membayar pajak yang mencapai Rp 80 Miliar.
![]()
Pontjo Sutowo Pemilik PT Indobuildco sebagai pengelola Hotel Sultan di kawasan kompleks Gelora Bung Karno (GBK)/Istimewa
“HPL tidak boleh menghilangkan HGB. Okelah kalau tanah bisa diperdebatkan, tetapi kan ada bangunan yang sepenuhnya milik kami. Apalagi, kami semula memperoleh HGB di atas tanah Negara, bukan hak pengelolaan lahan (HPL). HPL ini datang belasan tahun setelah kami miliki HGB,” tegas Pontjo.
“Kami hanya mengharapkan adanya perlindungan hukum. Kami mau berbicara untuk menyelesaikan secara baik-baik, tetapi tiba-tiba ada upaya untuk menguasai,” jelas Pontjo.
Load more