Pati, Jawa Tengah - Kebijakan penutupan tempat wisata di masa pandemi Covid-19 berdampak terhadap pelaku usaha pariwisata. Seperti yang dialami belasan pengusaha bus pariwisata di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang terancam gulung tikar karena tidak mampu membayar angsuran kredit pembelian bus kepada leasing dan perbankan.
Pelaku usaha perjalanan pariwisata hingga saat ini harus menelan pil pahit. Pasalnya, banyak objek wisata yang belum dibuka untuk umum lantaran masih terjadi pandemi Covid-19.
Kondisi ini pun membuat bus pariwisata mangkrak di garasi lantaran tidak ada orderan. Bahkan sebagian besar armada bus sudah ada yang dijual untuk menutup angsuran bulanan kredit pembelian bus kepada leasing dan perbankan.
Menurut Soegiharto (76), salah seorang pengusaha bus pariwisata di Desa Tlogorejo, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kondisi tersebut sudah berlangsung hampir dua tahun. Namun yang paling parah mulai tahun ini.
Adanya kebijakan pemerintah terkait PPKM Darurat Jawa-Bali hingga level empat, membuat tempat wisata banyak yang ditutup sehingga berdampak terhadap usaha bus pariwisata yang dikelolanya.
Karena tidak ada orderan perjalanan ke tempat wisata, armada busnya menganggur dan tidak ada pemasukan.
“Pandemi Covid-19 sangat memukul kami (pengusaha bus wisata). Setelah tempat-tempat wisata ditutup, praktis semua bus pariwisata yang saya miliki tidak bisa berjalan,” keluh Soegiharto, Rabu (3/11/2021).
Sebelum pandemi Covid-19, dengan sebelas bus pariwisata yang dimilikinya, soegiharto mengaku mampu mendapatkan penghasilan hingga Rp200 juta per bulan. Namun, kini tak ada pemasukan karena tidak adanya order perjalanan wisata.
Padahal per bulan Soegiharto harus membayar angsuran kredit pembelian bus kepada leasing dan perbankan sebesar Rp150 jutaan. Karena tak mampu membayar angsuran kredit, Soegiharto terpaksa menjual enam dari sebelas bus yang dimilikinya.
Dari enam bus yang dijual, Soegiharto mengaku mengalami kerugian miliaran rupiah karena busnya hanya laku terjual di bawah harga pasaran. Sementara untuk mengurangi beban pengeluaran, sebanyak tiga puluh lima karyawannya terpaksa dirumahkan.
“Masih ada 6 bus saya yang mengangsur ke leasing dan bank, sehingga mau tidak mau satu per satu bus saya jual untuk mengangsur angsuran di leasing dan bank. Bus yang kita jual awalnya kita beli 1,4 miliar ada yang 1,6 miliar, itu kemarin hanya laku Rp700 juta, ada juga yang laku Rp650 juta,” kata Soegiharto.
Agar usahanya tidak gulung tikar, Soegiharto meminta penundaan angsuran kredit kepada perbankan dan leasing hingga bus pariwisata bisa beroperasi secara normal. Soegiharto mengaku tahun ini sudah mengajukan program keringanan atau restrukturisasi kredit pada leasing terkait, tetapi belum dapat respon apapun.
“Kita sudah mengirim surat ke pemerintah yang menangani relaksasi ini. Namun hingga saat ini, leasing dan perbankan tersebut tidak memberikan relaksasi,” pungkasnya.
Dari data Association of The Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) Pati raya, di Kabupaten Pati terdapat 19 pengusaha bus pariwisata yang terancam gulung tikar akibat terdampak pandemi Covid-19.
Para pengusaha bus pariwisata berharap leasing dan perbankan untuk memberikan relaksasi kredit dan menurunkan bunga kredit. Pasalnya, rata-rata bunga bank angsuran armada bus per tahunnya bisa mencapai 15 persen.
Hal ini tentunya memberatkan pengusaha. Belum lagi para pengusaha bus pariwisata ini kerap diancam oleh penagih utang akan didatangkan pengacara hingga diseret ke ranah hukum. (Abdul Rohim/act)
Load more