Jakarta, tvOnenews.com - Akademisi menyoroti potensi industrialisasi dunia kesehatan dalam RUU Omnibus Law Kesehatan. Di mana Rektor Institut Teknologi dan Bisnis, Ahmad Dahlan (ITBAD) Jakarta, Mukhaer Pakkanna memberikan pandangan mengenai perspektif sosial ekonomi yang lebih spesifik pada pembahasan urgensitas pasal pelarangan iklan, sponsor zat aditif pada RUU Kesehatan.
Dia menjelaskan Pasal 383 dan 159 menjadi salah satu psal yang dikritisi dalam RUU Kesehatan. Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring yang digelar Center of Human and Economic Development (CHED) bersama Majelis Hukum dan Ham (MHH) PP Muhammadiyah dan Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN), Selasa (18/4/2023).
"Bahwa pada pasal 383 peluang untuk industrialisasi penguasaha farmasi yang mana fakta menunjukkan 75 persen bahan farmasi dproduksi di Indonesia, namun 95 persen bahan farmasi masih import (dari Cina) yang mana harusnya melalui RUU Kesehatan dapan menjadi regulasi untuk menjembatani kemandirian dalam dunia farmasi bukan membuka lebar pintu industrialisasi pihak swasta," katanya.
Selain itu, lanjut Mukhaer, poin penting yang menjadi alasan RUU Kesehatan omnibus law ditolak karena berpotensi terjadi praktik liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang mengorbankan hak sehat rakyat.
Dia mencontohkan ayat spesifik tentang pelarangan iklan, sponsor dan promosi zat adiktif yang telah diusulkan dihapus.
"Indikasi ini menjadi semakin mengerucutkan aroma Industrialisasi untuk meraih profitabilitas, dan apakah bisa dikatakan jika ini untuk kepentingan rakyat?" ucapnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo mengungkapkan Muhammadiyah sudah memberikan pandangan mengenai RUU Kesehatan pada 11 April 2023 lalu.
Muhammadiyah menyatakan RUU Kesehataan harusnya tidak dilakukan dengan buru-buru.
"Selain itu, pembahasan RUU Kesehatan yang tidak disampaikan dihadapan publik menjadi hal yang tidak tepat dilakukan oleh pihak pemerintah karena tidak mengindahkan unsur demokratisasi," ujarnya.
Dia juga menyebutkan bahwa perubahan RUU Kesehatan dianggap tidak berpedoman pada draf RUU Keshetan 2019, namun terkesan sesuai dengan kepentingan politik.
“Penyusunan RUU Kesehatan yang tidak terbuka dan tanpa naskah akademik maka mengidentikkan kepentingan modal bukan kepentingan," pungkasnya. (hrs/aag)
Load more