Lebih jauh, Iqbal menekankan dalam melakukan analisa harus melihat unsur penting lainnya.
Salah satunya bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke agroekosistemnya berbeda-beda.
Di saat beberapa daerah belum musim panen, tapi di wilayah lain ada panen. Sehingga, faktanya setiap hari dan setiap bulan itu ada tanam dan ada panen.
"Bapanas sangat keliru dan gagal pikir dengan mengatakan dalam setahun ada 9 bulan defisit. Buktinya saat panen raya itu surplusnya menutupi musim gadu. Dari satu bulan ke bulan berikutnya itu ada carry over beras, ada kumulatif surplus antar bulan dan dalam satu tahun itu ada surplus beras," terangnya.
Melansir data BPS, lanjutnya, pada 2019 terjadi surplus beras 2,38 juta ton, 2020 surplus 2,13 juta ton, 2021 surplus 1,31 juta ton dan 2022 surplus 1,34 juta ton.
Yang paling penting adalah tidak bisa dalam melakukan analisa itu dengan parsial data bulanan saja, namun harus komprehensif dalam setahun sehingga tidak melahirkan analisa yang menyesatkan bagi publik.
"Ingat dan supaya dipahami pengertian surplus defisit itu berbeda dengan stok sehingga kita tidak gagal paham. Perlu dipahami juga bahwa produksi padi itu sebuah aliran bulanan. Bukan produksi hari ini, dipakai hari ini. Kebutuhan bulan sekarang dapat dipenuhi produksi bulan sebelumnya. Sehingga, jangan merancukan pemahaman siklus produksi gabah, distribusi dan konsumsi beras. Kalau enggak paham, jangan asal ngomong apalagi di publik," tandasnya.
Load more