- Pertamina
Digitalisasi SPBU Rp3,6 Triliun Diduga Diskriminatif, Pertamina Terancam Langgar UU Antimonopoli Lagi
Jakarta, tvOnenews.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menyelidiki dugaan pelanggaran persaingan usaha dalam proyek digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik PT Pertamina (Persero).
Proyek bernilai triliunan rupiah itu terindikasi mengandung praktik diskriminatif dalam proses pengadaan penyedia jasa.
Proyek itu sebenarnya dimaksudkan untuk menciptakan sistem pemantauan distribusi dan penjualan bahan bakar secara near real-time di 5.518 SPBU Pertamina dari total sekitar 7.000 SPBU yang tersebar di seluruh Indonesia.
Akan tetapi pola pelaksanaan yang ditempuh dinilai menutup peluang kompetisi usaha secara sehat karena hanya melibatkan satu pihak penyedia yang ditunjuk langsung.
Pertamina seolah tidak membuka kesempatan kepada pelaku usaha lain dan dianggap bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
"Dalam rangka mengimplementasikan proyek yang bernilai Rp3,6 triliunan tersebut, Pertamina telah melakukan penunjukan langsung salah satu Badan Usaha Milik Negara dengan alasan sinergi BUMN tanpa mempertimbangkan berbagai pelaku usaha lain yang memiliki potensi dan kemampuan melaksanakan proyek tersebut," demikian keterangan KPPU yang diterima, Sabtu (5/7/2025).
KPPU menilai, pola penunjukan langsung tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, khususnya Pasal 19 huruf d yang melarang praktik diskriminatif dalam hubungan usaha.
Praktik serupa juga pernah terjadi dalam kasus pengadaan logo Pertamina, yang telah diputus oleh KPPU pada tahun 2006 melalui melalui Putusan KPPU Nomor: 02/KPPU-L/2006.
Proyek digitalisasi ini bernilai besar dan memiliki kaitan langsung dengan penggunaan dana publik untuk subsidi BBM.
Oleh karena itu, seharusnya Pertamina membuka seleksi terbuka agar kompetisi dapat menghasilkan penawaran harga dan kualitas terbaik bagi negara.
KPPU menekankan pentingnya mekanisme pengadaan yang lebih terbuka, seperti sistem tender berbasis wilayah.
Model ini dinilai lebih adil karena dapat menjaga efisiensi, membuka akses bagi lebih banyak pelaku usaha, dan mengurangi hambatan masuk (entry barrier) di sektor tersebut.
Faktanya, sejumlah pelaku usaha swasta pernah menyampaikan minat untuk ikut serta dalam proyek sejenis, namun tidak diberikan kesempatan. Hal ini memperkuat dugaan adanya kebijakan diskriminatif dalam penunjukan penyedia proyek.