- Istimewa
212 Produsen Beras Nakal Dilaporkan Mentan ke Kapolri dan Jaksa Agung, Konsumen Rugi Rp99 Triliun akibat Mutu dan Berat Tak Sesuai?
Jakarta, tvOnenews.com - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman telah melaporkan ratusan produsen beras kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kejaksaan Agung.
Laporan itu menyasar kepada pelaku usaha yang terindikasi melakukan pelanggaran dalam perdagangan beras, mulai dari mutu, berat hingga harga eceran tertinggi (HET).
Investigasi yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama sejumlah pihak menemukan bahwa mayoritas merek beras premium yang beredar di pasaran tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Temuan ini pun langsung dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
"Temuan ini telah dilaporkan secara resmi ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti," kata Mentan dikutip dari Antara, Jumat (27/6/2025).
Amran menjelaskan, ada sebanyak 212 merek ditemukan bermasalah dalam hal mutu, berat bersih, dan harga jual yang melampaui batas HET dari total 268 yang diinvestigasi.
Pengawasan ini dilakukan bersama Satgas Pangan, Kejaksaan, Badan Pangan Nasional, dan instansi pengawas lainnya.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan di 13 laboratorium di 10 provinsi, diketahui bahwa 85,56% beras premium tidak sesuai standar mutu. Selain itu, 59,78% dijual di atas HET, dan 21% memiliki berat tidak sesuai kemasan.
"Ini sangat merugikan masyarakat,” tegas Mentan.
Ia menyoroti anomali harga beras yang tetap tinggi meskipun produksi nasional sedang meningkat. Bahkan, menurut proyeksi FAO, produksi beras Indonesia pada periode 2025/2026 akan mencapai 35,6 juta ton, melebihi target nasional 32 juta ton.
"Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini indikasi adanya penyimpangan,” jelasnya.
Mentan menyebutkan bahwa kerugian konsumen akibat praktik curang para produsen ini diperkirakan mencapai Rp99 triliun.
Salah satu modus yang ditemukan adalah beras SPHP dikemas ulang lalu dijual sebagai beras premium dengan harga lebih mahal.
"Kami sudah telepon Pak Kapolri dan Jaksa Agung. Kami sudah serahkan seluruh data dan temuan lengkap. Negara tidak boleh kalah dengan mafia pangan,” tambahnya.
Pemerintah pun sepakat memberikan waktu dua minggu bagi pelaku usaha beras untuk memperbaiki praktik usahanya. Jika tidak, tindakan hukum akan diambil.
"Kami tidak ingin rakyat terus dirugikan. Mulai hari ini, tidak boleh lagi ada beras di atas HET, mutu tidak sesuai, atau berat dikurangi. Kalau tidak patuh, bersiaplah berhadapan dengan hukum,” ujar Amran.
Ia juga mengajak seluruh pelaku industri beras untuk melakukan perbaikan menyeluruh dan menjalankan bisnis secara beretika.
"Mari kita koreksi bersama. Negara ini harus dijaga, pangan adalah soal hajat hidup orang banyak. Kalau terus dibiarkan, dampaknya sangat luas, dari daya beli rakyat hingga stabilitas ekonomi nasional,” tutupnya.
Sementara itu, Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Sesjam Pidsus) Kejagung Andi Herman menyatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan peristiwa nyata yang melanggar berbagai regulasi, terutama terkait mutu, harga, dan distribusi.
“Dari sisi hukum, ini merupakan praktik markup dan pelanggaran integritas mutu dan berat produk. Karena beras ini bagian dari komoditas subsidi negara, maka kerugian menjadi ganda, bagi negara dan rakyat. Kami mendukung penegakan hukum yang tegas sebagai bentuk efek jera dan perbaikan tata kelola,” kata Andi.
Pernyataan serupa juga disampaikan Ketua Satgas Pangan Mabes Polri Brigjen Helfi Assegaf. Ia menegaskan bahwa pengemasan ulang dan pelabelan yang menyesatkan termasuk pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
"Jika dalam dua minggu sejak hari ini, hingga 10 Juli 2025, masih ditemukan pelanggaran, kami akan melakukan tindakan hukum dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar,” tegas Helfi.
Apa yang dilakukan Kementan disebut sebagai komitmen pemerintah dalam melindungi konsumen serta menertibkan praktik curang dalam tata niaga pangan.
Dengan waktu dua minggu sebagai tenggat perbaikan, produsen yang tidak patuh harus bersiap menghadapi konsekuensi hukum. (ant/rpi)