- ANTARA
Kisah Sritex yang Gugur: Kronologi dan Janji Tak Terpenuhi
Jakarta, tvOnenews.com - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang pernah berjaya sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, resmi menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Keputusan ini menyebabkan 12.000 karyawan Sritex kehilangan pekerjaan, menandai akhir dari perjalanan panjang perusahaan yang berdiri sejak 1966.
Suasana haru menyelimuti pabrik Sritex di Sukoharjo. Dalam beberapa video TikTok yang viral, ribuan karyawan terlihat berkumpul di halaman pabrik dengan seragam biru kebanggaan mereka, diiringi rinai gerimis yang menambah nuansa kesedihan.
Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh karyawan yang selama ini menjadi tulang punggung perusahaan.
Di balik keharuan itu, muncul tanda tanya besar mengenai peran pemerintah dalam menyelamatkan industri lokal dan melindungi hak-hak pekerja. Kejatuhan Sritex menjadi cermin rapuhnya sektor manufaktur di Indonesia di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Kronologi Kebangkrutan Sritex
-
Awal Mula Masalah Keuangan
-
Masalah keuangan Sritex mulai mencuat ketika PT Indo Bharat Rayon mengajukan gugatan kepailitan akibat ketidakmampuan Sritex melunasi utangnya.
-
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan Sritex serta tiga entitas lainnya dalam keadaan pailit.
-
Putusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung pada 18 Desember 2024, menegaskan kebangkrutan Sritex secara hukum.
-
-
Putusan Pailit dan Dampaknya
-
Putusan pailit memaksa Sritex untuk menghentikan seluruh operasionalnya mulai 1 Maret 2025.
-
12.000 karyawan terpaksa di-PHK, termasuk dari tiga anak usaha Sritex: PT Primayudha Boyolali, PT Sinar Pantja Jaya, dan PT Bitratex Semarang.
-
Proses PHK massal dimulai pada 26 Februari 2025, dengan pengumuman dari tim kurator sebagai langkah awal untuk pencairan hak-hak karyawan.
-
-
Proses PHK Massal dan Hak Karyawan
-
Ribuan karyawan menerima surat PHK dan mengurus hak-hak mereka, termasuk pesangon, gaji yang tertunda, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
-
Proses pencairan hak-hak karyawan masih menunggu hasil likuidasi aset perusahaan, sementara kebutuhan hidup terus berjalan.
-
Sritex bukanlah perusahaan sembarangan. Dengan sejarah panjang sejak 1966 dan dikenal sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, kejatuhan Sritex menjadi peringatan serius bagi stabilitas industri tekstil nasional.
Minimnya peran pemerintah dalam mencegah keruntuhan ini menjadi sorotan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya berharap Sritex bisa diselamatkan, tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Pemerintah melalui Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel, menjanjikan akan mengawal hak-hak buruh, mulai dari pesangon hingga program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). "Kita cari, kita negara harus juga cari solusi terbaik," kata Noel.
Ribuan karyawan saat ini masih menunggu kepastian pencairan pesangon dan Tunjangan Hari Raya (THR) yang belum jelas nasibnya. Proses likuidasi aset perusahaan menjadi sandungan utama, sementara kebutuhan hidup tidak bisa menunggu.
Dampak Sosial: Pengangguran Massal dan Kegamangan Masa Depan
Dengan penutupan Sritex, ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian. Di pabrik pusatnya di Sukoharjo saja, lebih dari 8.000 karyawan menerima surat PHK. Belum lagi dari tiga anak perusahaan Sritex yang juga tutup: PT Primayudha Boyolali, PT Sinar Pantja Jaya, dan PT Bitratex Semarang.
Dampaknya tidak hanya pada karyawan, tetapi juga pada rantai pasok tekstil dan ekonomi lokal di wilayah sekitar pabrik. Para mantan karyawan kini menghadapi ketidakpastian dalam mencari pekerjaan baru di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Minimnya kebijakan yang efektif dalam menciptakan lapangan kerja alternatif semakin memperparah keadaan.
Belajar dari Kejatuhan Sritex: Refleksi untuk Industri dan Pemerintah
Kasus Sritex menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk lebih serius dalam melindungi industri lokal, terutama di tengah gempuran impor dan persaingan global.
Sritex adalah aset nasional yang seharusnya bisa diselamatkan dengan strategi yang tepat dan intervensi kebijakan yang lebih kuat.
Langkah konkret pemerintah diperlukan untuk mencegah kasus serupa di masa depan, terutama dalam hal dukungan finansial dan kebijakan industri yang lebih adaptif.
Bangkrutnya Sritex bukan hanya soal kegagalan bisnis, tetapi juga kegagalan sistem ekonomi yang tidak mampu melindungi industri lokal dan hak-hak pekerja. Janji-janji manis pemerintah tentang pesangon, JHT, dan JKP akan menjadi angin lalu jika tidak ada tindakan nyata.
Kebijakan yang tepat dan eksekusi yang tegas diperlukan agar janji pemerintah tidak berhenti sebagai retorika belaka.
Sritex telah tumbang. Kebijakan ekonomi yang tidak adaptif dan kurangnya perlindungan bagi industri lokal bisa menyebabkan perusahaan-perusahaan lain menyusul. Semua tergantung pada keseriusan pemerintah dalam bertindak. (nsp)