- Tim tvOne - Nuryanto
Terkait Relokasi Pedagang, Sejumlah PKL Malioboro Mengadu ke LBH Yogyakarta
Yogyakarta, DIY - Rencana penataan Malioboro dengan merelokasi PKL sepanjang Jalan Malioboro pada awal Februari mendatang kembali menuai respon dari para PKL. Mereka mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk melakukan konsolidasi dan mengadukan nasib mereka.
Perwakilan PKL Malioboro yang datang bersama Paguyuban Pendorong Gerobag PKL ini hanya ingin mengetuk nurani pemerintah setempat untuk menunda relokasi hingga usai lebaran nanti.
Salah satu anggota PKL Malioboro, Prast, menyatakan bahwa dirinya seperti merasa jika nafas hidupnya terenggut begitu mendengar Pemerintah DIY ingin merelokasi PKL ke lokasi baru.
Sebab, menurutnya, dari pengalaman selama belasan tahun bekerja di kawasan Malioboro, sejatinya para wisatawan selalu tampak menikmati saat mereka berjalan lurus di sepanjang Malioboro, yang membujur dari utara ke selatan.
" Kalo saya lihat, wisatawan itu betah dan asyik saja jika sudah berjalan lurus melewati Malioboro. Dari sisi utara deket rel kereta, wisatawan berjalan saja ke selatan lurus, kadang tak terasa tiba-tiba sudah sampai di deket Mall Malioboro. Nah habis itu biasanya para wisatawan akan naik becak atau andong ke lokasi parkir kendaraan mereka," ujar Prast.
Dari sinilah, lanjut Prast, di kanan kiri sepanjang jalan Malioboro para wisatawan bisa menemukan suasana khas Malioboro. Juga merayakan keasyikannya untuk sekedar mampir membeli oleh-oleh khas maupun menikmati wisata kuliner Yogyakarta.
Menurut Prast, perlahan-lahan, mau tidak mau kehidupan PKL akan menepi, ke lokasi baru yang dinilainya seperti pasar dan tidak mencerminkan kekhasan jalan Malioboro itu sendiri.
" Relokasi ini justru menambah panjang nasib PKL yang meski mulai membaik akibat Pandemi, namun akan sangat berdampak. Dua tahun kami tidak bekerja, banyak PKL tutup, tak hanya ekonomi, bahkan keluarga kami juga ada yang meningal karena imbas Pandemi. Kini setelah mulai bergeliat, pemerintah malah ingin merelokasi kami", ujarnya.
Sementara itu, perwakilan Paguyuban Pendorong Gerobag, Kuat, menyampaikan dua aspirasinya. Mereka ingin relokasi ditunda hingga setelah lebaran dan meminta kebijakan terkait pekerjaan di masa depan.
" Sebab, saat ini masih terdapat sekitar 70-an lebih warga yang berprofesi Pendorong Gerobag PKL, jika nanti PKL dipindah ke lokasi baru yakni di Teras Malioboro, yang menurutnya tidak representatif untuk gerobag PKL, maka sama saja penghasilan mereka berhenti," kata Kuat.
Upik Perwakilan PKL Malioboro lainnya menyampaikan, dalam sejarah panjangnya, ada bagian PKL yang justru turut serta menjaga kawasan Jalan Malioboro agar selalu aman dan nyaman.
" Jaman saya kecil, ayah saya pernah cerita kalo ia juga turut menjaga lingkungan Malioboro. Bahkan saat ada toko yang dulu dipunyai seorang haji dari Kotagede, mau dirampok, justru masyarakat sekitarlah ya para PKL ini bertaruh nyawa menyelamatkan toko, PKL juga turut mengamankan dan menjaga toko tersebut. Hal-hal itu sebenarnya ungkapan rasa terimakasih kami sebagai warga yang nunut hidup di Jalan Malioboro, sudah menjadi bagian hidup kami yang harus menjaga Malioboro," ungkapnya.
LBH Yogyakarta sendiri sudah membuka Rumah Aduan bagi PKL Malioboro terkait kebijakan relokasi di dua tempat baru yakni di Bekas Kantor Dinas Pariwisata DIY dan di bekas Bioskop Indra. Kedua tempat tersebut sudah diresmikan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono Sepuluh dan diberi nama Teras Malioboro I dan Teras Malioboro II.
Sementara Era Hareva Pasarua, Pembela Umum yang sekaligus Kepala Divisi Penelitian LBH Yogyakarta menyebut bahwa rencana penataan Malioboro dan pendaftaran Sumbu Filosofis sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO membuat Pedagang Kaki Lima (PKL) dari lapak yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun terancam penghidupannya.
" Hal itu mengancam keberlangsungan hidup serta roda perekonomian rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari keberadaan PKL Malioboro," ungkap Era.
Era menambahkan dari riset yang dilakukannya di berbagai literasi, tidak disebutkan adanya keharusan agar aktivitas ekonomi seperti PKL yang harus dipindahkan dalam kaitan Sumbu Filosofis sebagai warisan budaya yang didaftarkan ke UNESCO.
" Ya kami tidak menemukan ketika Malioboro didaftarkan ke UNESCO, harus terbebas dari aktivitas ekonomi," pungkasnya.
Di hadapan LBH Yogyakarta para PKL juga menggelar diskusi publik serta konsolidasi untuk tetap memperjuangkan aspirasi mereka meminta penundaan relokasi. Diskusi ini juga dihadiri Elanto Wijoyono dari Warga Berdaya dan M. Syarif, SH. MH dari Pusham UII. (Nuryanto/Buz)