- Istimewa
Divonis 2 Tahun atas Kasus Korupsi TKD, Eks Jagabaya Maguwoharjo Lakukan Banding, Ini Alasannya
tvOnenews.com - Di tengah maraknya pemberitaan mengenai kasus korupsi yang terus menghantui birokrasi Indonesia, sebuah putusan pengadilan di Yogyakarta kembali memicu perdebatan. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 9/Pid.sus-TPK/2025/PN Yyk yang menjatuhkan vonis terhadap seorang pejabat desa, ex Jogoboyo Kalurahan Maguwoharjo, Edi Suharjono, S.H., dituding mengabaikan fakta-fakta persidangan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, jabatan Jagabaya (Jogoboyo) adalah bagian integral dari sistem pemerintahan Kalurahan yang masih kental dengan nilai-nilai tradisi. Sebagai aparat desa, seorang jagabaya diharapkan menjadi ujung tombak pelayanan publik dan menjaga citra luhur pamong desa.
Menurut Kuasa hukum terdakwa, Dr. Muhammad Zaki Mubarak, SH., ST., MH., Edi Suharjono, seorang pejabat yang dalam struktur pemerintahan Kalurahan (Desa) di DIY memiliki peran strategis sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban wilayah, divonis 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 180.400.000. Putusan dibacakan pada Kamis, 5 November 2025.
Tim kuasa hukum menyatakan keberatan keras dan telah memutuskan untuk mengajukan banding. "Tim kuasa hukum melalui musyawarah keluarga dan keyakinan atas fakta-fakta persidangan yang diabaikan, akan melakukan banding atas putusan tersebut," kata Zaki Mubarak.
Zaki mengungkapkan kliennya sama sekali tidak pernah menerima uang senilai Rp202,9 juta sebagaimana disebutkan dalam dakwaan maupun pertimbangan majelis. "Jangankan menerima, melihat uang itu saja beliau tidak pernah. Kami menilai ada banyak fakta persidangan yang tidak muncul dalam putusan," tegas Zaki pada wartawan, Senin (17/11/2025).
Kuasa hukum Edi Suharjono menyoroti beberapa kejanggalan utama, diantaranya Terdakwa diklaim tidak pernah melihat apalagi menerima uang senilai Rp 202.900.000, yang menjadi dasar tuntutan. Kuasa hukum mempertanyakan asal-usul angka tersebut.
Kemudian saksi dari Panitikismo (badan pengelola tanah Kasultanan/Kadipaten di DIY) dalam persidangan menyebutkan bahwa perkara ini seharusnya hanya bersifat administratif.
Kuasa hukum juga mempertanyakan mengapa para penyewa yang terlibat dalam perkara ini tidak pernah ditersangkakan, dituntut, maupun didakwa. Hal ini memunculkan dugaan adanya keraguan dari Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan kasus ini.