Ironi Muara Angke, Air Bersih Sebatas Janji
Jakarta, tvOnenews.com - Di balik hiruk pikuk aktivitas Pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, tersimpan jerit sunyi warga yang setiap hari harus berjuang demi mendapatkan air bersih. Bukan untuk gaya hidup, melainkan untuk kebutuhan paling dasar: mandi, memasak, dan bertahan hidup.
Di kawasan pesisir ini, air laut yang asin, pipa air bersih yang tak kunjung mengalir, serta pasokan air yang tidak menentu memaksa warga bertahan dalam keterbatasan. Tanpa akses jaringan perpipaan, mereka terpaksa membeli air bersih dari pedagang keliling dengan biaya yang tidak sedikit.
Warga Muara Angke, khususnya di RW 22, mengaku harus mengeluarkan biaya sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulan hanya untuk membeli air bersih. Angka tersebut nyaris setara dengan biaya sewa tempat tinggal, menjadikan air sebagai beban ekonomi harian yang berat.
Di sepanjang gang kawasan Muara Angke, pedagang air bersih bermodalkan gerobak dan jeriken menjadi pemandangan sehari-hari. Inilah satu-satunya cara warga memperoleh air, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk menopang usaha mereka.
Bahkan di jantung ekonomi pesisir, air bersih menjadi kemewahan. Daeng, seorang pedagang udang yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup di Muara Angke, mengaku harus merogoh kocek puluhan ribu rupiah setiap hari hanya untuk membersihkan hasil tangkapan. Tidak adanya fasilitas air tawar membuat biaya operasional melonjak dan keuntungan semakin tergerus.
Kondisi serupa dialami banyak keluarga. Sejumlah warga mengaku harus memilih antara belanja kebutuhan dapur atau membeli air untuk mandi.
Tanpa membeli air, mereka tak punya pilihan lain karena air laut tidak bisa digunakan untuk kebutuhan harian. Situasi ini perlahan menjadi kebiasaan pahit yang diterima dengan pasrah.
Selain mahal, kualitas air juga menjadi persoalan serius. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada 2024 mencatat bahwa air di kawasan Muara Angke tidak memenuhi baku mutu, dengan parameter penting seperti kekeruhan, pH, dan kadar amonia berada di luar ambang aman.
Ironisnya, warga justru harus membeli air dengan harga 100 hingga 150 kali lebih mahal dibanding tarif resmi PAM Jaya.
Akibat kondisi ini, warga terpaksa menghemat air secara ekstrem, menunda kebutuhan lain, bahkan mengorbankan aspek kebersihan dan kesehatan.
Air bukan sekadar untuk diminum, tetapi menyangkut kebersihan, kesehatan, dan kualitas hidup secara menyeluruh.
PAM Jaya menyebut wilayah RW 22 Muara Angke, dengan sekitar 1.800 pelanggan, memang belum terlayani jaringan perpipaan. Namun, perusahaan daerah itu menyatakan telah berkomitmen untuk mulai pembangunan infrastruktur perpipaan pada Januari 2026, setelah proses administrasi dan perencanaan rampung.
Artinya, warga Muara Angke masih harus bertahan dengan air mahal dan kualitas yang tidak layak setidaknya hingga dua tahun ke depan. Di tengah laut yang mengelilingi kehidupan mereka, warga justru hidup dalam kehausan akan air bersih.
Janji pemerintah kini ditagih untuk benar-benar hadir, sebab akses air bersih bukan sekadar fasilitas, melainkan ukuran keadilan yang seharusnya mengalir hingga ke wilayah paling pinggir kota.