news

Daerah

Bola

Sport

Gaya Hidup

Video

Tvone

Anak Sekolah Jadi Target Baru Teroris Lewat Dunia Digital

Rabu, 26 November 2025 - 10:15 WIB
Reporter:

Jakarta, tvOnenews.com - Ancaman terorisme siber terhadap anak semakin mengkhawatirkan. Dalam satu tahun terakhir, kepolisian menangkap lima terduga teroris yang aktif merekrut anak–anak untuk dijejali paham radikal melalui media sosial dan game online. 

Jaringan teroris tersebut memanfaatkan ruang digital sebagai sarana propaganda sekaligus pencarian anggota baru, terutama kalangan pelajar.

Berdasarkan data kepolisian, jumlah anak yang menjadi korban rekrutmen jaringan terorisme menunjukkan peningkatan signifikan. 

Pada periode 2011–2017, Densus 88 Anti Teror mengidentifikasi 17 anak menjadi korban. Namun pada 2025, jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 110 anak yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia. Mereka berada pada rentang usia 10 hingga 18 tahun.

Jaringan teroris memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk menyebarkan paham radikal, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, hingga TikTok. 

Ketika anak atau remaja menunjukkan ketertarikan pada konten tertentu, misalnya dengan menyukai postingan yang disebar, pelaku memindahkan percakapan ke forum tertutup seperti Discord, Telegram, hingga grup pada platform game online. 

Proses inilah yang kemudian mengarah pada grooming dan pembentukan ideologi ekstrem.

Menurut penjelasan psikolog, anak-anak menjadi target empuk karena berada pada fase perkembangan kognitif dan emosional yang belum matang. 

Minimnya literasi digital, kebutuhan penerimaan sosial, hingga sifat impulsif membuat mereka rentan terhadap manipulasi dan ajakan kelompok tertentu di internet.

Pengamat terorisme menyebutkan, intensifikasi propaganda digital dilakukan karena kelompok teroris tidak lagi memiliki basis kekuasaan di daratan, seperti yang sebelumnya pernah terjadi di Suriah. 

Kondisi tersebut mendorong pergeseran strategi ke bentuk “online khilafah” dan perekrutan virtual lintas wilayah.

BNPT menegaskan bahwa pola ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi ancaman global dalam lima tahun terakhir. 

Ruang digital dianggap efektif bukan hanya untuk penyebaran doktrin ekstremis, tetapi juga untuk perekrutan dan pendanaan kegiatan terorisme.

Pemerintah memasukkan isu penguatan keamanan digital dan pencegahan radikalisasi anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. 

Namun para ahli menilai pencegahan tidak bisa hanya bertumpu pada regulasi negara. Peran keluarga menjadi benteng pertama bagi anak dari paparan konten radikal maupun predator digital.

Psikolog mendorong konsep “connect before correct”, yaitu membangun kedekatan emosional dengan anak sebelum mengoreksi perilaku dan aktivitas digital mereka. 

Orang tua juga perlu dibekali literasi digital agar dapat membimbing anak mengenali hoaks, manipulasi konten, dan pola komunikasi mencurigakan dalam dunia maya.

Kasus ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta menjadi contoh nyata bagaimana interaksi digital yang tidak sehat dapat memicu tindakan ekstrem oleh remaja yang rentan, termasuk korban perundungan dan ketidakstabilan emosional.

Meningkatnya kasus radikalisasi anak menimbulkan pertanyaan apakah pembatasan akses media sosial seperti yang diterapkan di beberapa negara perlu diterapkan di Indonesia. 

Para ahli menilai game online bukan penyebab utama, melainkan penyalahgunaan fitur komunikasi tertutup di dalamnya untuk tujuan propaganda.

Kombinasi langkah pemerintah, lembaga pendidikan, serta pendampingan aktif dari keluarga dinilai menjadi kunci untuk menjaga anak agar tetap aman dan terlindungi di era digital.

Berita Terkait

Topik Terkait

Saksikan Juga

05:05
01:59
02:45
02:14
01:33
04:47

Viral