- Istimewa
Tantangan Menpora: Antara Kapasitas dan Kepentingan Politik
Oleh: Putri Khairunnisa Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI)
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Ketika negara-bangsa sibuk dengam dihadapkan arus globalisasi dan teknologi, pembangunan kepemudaan sering dipoles sebagai program resmi: pelatihan, kaderisasi, hingga seremoni nasional.
Namun jika kita boleh jujur di balik jargon tersebut, pemuda kerap dijinakkan dan digunakan untuk menjadi pengawal status quo, bukan penggugat ketidakadilan dan asset bangsa dalam pembangunan di masa mendatang.
Mengutip dari Benedict Anderson, lewat gagasan Imagined Communities, pernah menunjukkan bagaimana bangsa dibangun lewat imajinasi kolektif yang dipicu media cetak.
Pemuda, dalam sejarah, justru selalu menjadi penggerak yang berani: dari mahasiswa Indonesia 1966, hingga generasi muda Jepang di era Meiji.
Mereka membayangkan ulang bangsa, bahkan ketika elit dan penguasa berusaha mengarahkan arah imajinasi itu sesuai kepentingannya.
Sejarah panjang bangsa Indonesia saat ini tidak terlepas dari peran serta pemuda dalam Pembangunan. Hari ini kita dihadapkan dengan persoalan pembangunan kepemudaan dan olahraga yang sering terjebak dalam versi slogan nasionalisme dan patriotisme dalam bingkai media sosial.
Kita melihat titik ini, potensi revolusioner pemuda dikebiri.
Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olahraga) merupakan sebuah institusi penting dalam sebuah regenerasi Indonesia dalam menjawab sebuah tantangan zaman.
Menpora (Menteri Pemuda Olahraga) mempunyai beban berat yang harus dipikulnya. Sebab ia harus mempunyai blue print tentang pemuda dan olahraga bukan hanya sebatas slogan nasionalisme dan patriotism yang tertulis dalam sebuah kertas.
Namun harus diselaraskan dengan sebuah kebijakan yang keberpihakan dalam pembanganunan hal tersebut.
Berbicara pemuda hari ini, bangsa Indonesia dihadapkan dengan persoalan pemuda yang terjebak dalam sebuah lanskap baru di era digital.
Kita lihat sendiri era digital menjadikan Media sosial sebagai “mesin cetak” masa kini yang melahirkan solidaritas transnasional yang mengarah kepada disorientasi.
Di sinilah poin penting pertama, pembangunan kepemudaan seharusnya bukan soal menyiapkan pemuda yang patuh atau membuka ruang bagi imajinasi yang liar, berani, dan radikal.