- tim tvonenews
Melawan Sejarah (Bagian 2)
Ini yang membuat ribuan konsesi meninggalkan lahan bekas tambang batu bara menciptakan danau danau keruh. Saat berada di dalam pesawat kita dengan mudah melihatnya ketika melintas di wilayah udara Kalimantan Timur. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Kalimantan Timur masih ada 1,735 lubang bekas tambang yang tidak direklamasi, 349 lubang itu ada di Samarinda. Lubang tambang yang tak direklamasi adalah “kuburan” raksasa bagi anak-anak Kalimantan. Data Jatam juga menyebut ada 40 jiwa tewas di bekas galian batu bara, sebagian besar anak-anak.
Biasanya karena kemampuan pemain baru yang terbatas, akan digandeng mitra (yang bisa jadi pemain lama). Pada akhirnya mitra yang akan menentukan banyak hal, mendominasi operasional tambang tersebut. Alih alih cuan, sangat bisa jadi Izin Usaha Pertambangan akan beralih ke pengelola lama dan ormas mungkin saja akan puas dengan menerima fee saja.
Cuan tambang masih jauh di angan, sementara konflik internal sudah di tangan. Organisasi otonom wanita Muhammadiyah, Aisyiyah bersuara keras menolak keputusan tersebut. Ketua Divisi Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PP Aisyiyah Hening Parlan menyebut mengelola konsesi tambang sangat berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat. “Pernah tidak bapak bapak bicara dengan orang tua yang anaknya tenggelam ke dalam galian bekas tambang?” ujar Hening.
Tokoh sekaliber Amien Rais pun akhirnya ikut bersuara. Pak Amien yang bahasanya selalu artikulatif, logis, karenanya sulit dibantah itu, menyebut ada sesuatu yang berbau amis hampir menjurus busuk dengan tawaran Presiden Jokowi pengelolaan tambang yang diberikan pada ormas keagamaan.
Bagi tokoh reformasi itu tambang bukan soal yang netral, tapi sebuah wilayah abu abu yang lebih banyak kontroversinya. "Ada pertikaian antar bohir, antar makelar. Masak Muhammadiyah masuk ke sana? Muhammadiyah akan tenggelam, ini sebuah jebakan yang manis," ujar Amien Rais dalam sebuah wawancara dengan Media.com.
Saya mafhum atas keberangan Amien Rais. Ia punya hak moral untuk tetap bersuara menjaga Muhammadiyah, ormas yang pernah ia pimpin dalam dua periode kepengurusan, melintasi masa masa sulit ketika persyarikatan kerap dikuyo kuyo penguasa Orde Baru. Harap diingat belum pernah ada dalam sejarah Muhammadiyah, ketuanya dipilih hampir oleh 100 persen peserta muktamirin dan muktamirat. Amien Rais saat itu terpilih dengan persentase suara 98,5 persen.