- Istimewa/tim tvone
Undang-Undang KUHP Disahkan, Para Pakar Beberkan Dampaknya
Jakarta, tvonenews.com - Undang-Undang KUHP baru saja disahkan pada Selasa, 6 Desember 2022. Namun, para pakar menilai disahkannya Undang-undang KUHP itu, sangat rentan menjadi pemukul demokrasi di Indonesia.
Bahkan, para pakar menyebutkan hal yang sangat potensial, yakni semakin mengkerdilkan ruang sipil, setidaknya lima tahun terakhir terus terkebiri.
Selain itu, pencekalan beberapa akademisi, kriminalisasi aktivis karena kritik terhadap pemerintah, serta berbagai ancaman digital, adalah indikasi yang tak bisa ditampik dalam mewarnai iklim demokrasi Indonesia belakangan ini.
Maka dari itu, para pakar menyebutkan, bahwa sangat diperlukannya strategi partisipasi yang tidak hanya kreatif. Akan tetapi, juga bermakna dan politis.Tak lain, untuk dapat membuka kembali ruang sipil dan mengarahkan konstitusi ke visi demokrasi yang lebih baik.Keterangan ini, dijelaskan secara tertulis dari beberapa para pakar berdasarkan anlisis mereka.
Bahkan, satu di antaranya, Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi menjelaskan, bahwa berdasarkan analisis terhadap pemberitaan media online pada periode 2020-2021, ancaman terhadap penyempitan ruang sipil cenderung meningkat setiap Q3 di akhir tahun, dan sektor yang paling banyak muncul adalah tambang dan masyarakat.
“Hal tersebut diperparah dengan, adanya semacam insinuasi pada aktivis, pelabelan 'SJW (Social Justice Warrior)' yang terorkestrasi terhadap berbagai bentuk protes atas situasi-situasi tersebut di media sosial pada banyak isu. Sebagian dilakukan secara organik, sebagian dilakukan melalui aktivitas inautentik yang teroganisir," ungkap Kunto dalam diskusi publik bertajuk 'Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna' di Upnormal Coffee Roasters, Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Sejak tahun 2021, ia katakan, KedaiKOPI melakukan riset untuk menemukan strategi baru guna mendorong partisipasi masyarakat sipil yang lebih bermakna. Kemudian, dia sebutkan, riset kualitatif dilakukan dengan mengundang tiga elemen.
Yakni, aktivis muda, jurnalis, dan pimpinan beberapa organisasi masyarakat sipil (CSO) di Indonesia. Hal ini tak lain untuk mengikuti focus group discussion (FGD).
Sambungnya menjelaskan, berdasarkan studi tersebut, terdapat beberapa hal yang bisa diinisiasi bersama untuk membangun partisipasi publik yang bermakna.
"Pertama, mendorong aktivis muda merasakan pengalaman langsung dalam aktivisme dan partisipasi; kolaborasi yang terintegrasi antara CSO dan media; serta, membangun relasi antara pusat-daerah sehingga akses informasi dari daerah mengenai realitas di lapangan dapat tersalurkan secara optimal," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi.
Lanjut Kunto menjelaskan, bahwa terdapat peluang kolaborasi antara media dan organisasi masyarakat sipil untuk lebih mengamplifikasi isu-isu terkait kondisi ril dan penyempitan ruang sipil. Terdapat peluang untuk membangun narasi secara lebih hopeful bahwa kritik adalah salah satu praktik riil partisipasi dalam konteks demokrasi.
“Upaya-upaya partisipasi harus benar-benar diarahkan untuk orientasi publik, tidak hanya reaktif tapi juga kontinual dan menghindari terjebak pada partisipasi yang berorientasi administrasi dan sekadar normatif,” beber Kunto.
Sementara, Pegiat HAM Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Asfinawati menyatakan, jika orang dibuat tidak ada harapan ketika bicara terkait urusan publik dan politik.
"Bukan publik tidak sadar akan haknya, tetapi hak tersebut cenderung dikecilkan,” beber Asfinawati.
Sambungnya mengatakan, bahwa publik harus mengoptimalisasi hak mereka untuk bersuara. Namun sayangnya, ia akui, ada permasalahan yaitu swasensor.
Kemudian dia katakan, negara sudah menggunakan koersi secara soft power, rakyat sudah disiplinkan tanpa negara melakukan apa-apa. Hal ini juga berpengaruh pada media dan jurnalis.
"Walau demikian, kami melihat masih ada harapan pada generasi muda, yang merupakan tulang punggung demokrasi Indonesia pada masa depan, untuk mendorong partisipasi publik yang lebih bermakna dalam kehidupan bernegara," akata Asfinawati.
"Potensinya terdapat pada postur penduduk Indonesia di anak muda, karena mereka sudah menganut etika global. Besar peluangnya di situ, tinggal menjaga teman-teman muda agar tidak surut," sambung Asfinawati menjelaskan.
Selain itu, Koordinator Koalisi Keadilan Iklim, Torry Kuswardono menerangkan, permasalahan penyempitan ruang sipil ini akan berdampak erat pada isu lingkungan.
“Apakah concern kita pada isu lingkungan akan semakin baik ketika demokrasi terjadi? Selama pemerintahan tidak korupsi, isu lingkungan akan semakin baik, dan baru akan terjadi perbaikan. Namun jika sistem yang dibangun pemerintahan adalah ‘terserah apa adanya’, maka upaya kita untuk mengawal isu lingkungan tidak akan jalan," jelas Torry.
Kemudian, Torry katakan, berdasarkan pengamatannya, banyak warga yang ingin protes terhadap ketidakadilan, tetapi mereka tidak tahu cara yang benar untuk berbicara. Juga ada keraguan apakah yang akan mereka suarakan adalah hal yang benar.
Menurutnya, rakyat seharusnya diajarkan, bahwa menyuarakan pendapat adalah hak yang dilindungi konstitusi.
"Orang yang membaca dan kemudian memahami pasal-pasal [UUD 1945] akan lebih percaya diri untuk mengemukakan pendapat. Hak tersebut dijamin konstitusi," pungkas Torry. (aag)