- Istimewa/NU Online
Pahlawan yang Disapa Kiai Bambu Runcing, Ternyata Bukan Orang Sembarangan
Jakarta - Kemerdekaan Indonesia tak terlepas dari jasa-jasa para santri. Pasalnya, saat Indonesia masih dijajah, para santri turun ke medan laga. Tak lain bertujuan untuk berlaga dengan para penjajah. Sebab, ada beberapa santri yang merupakan seorang pahlawan.
Bahkan, hal itu bukan sebatas omongan kosong saja. Namun, ada banyak catatan sejarah yang menggambarkan kiprah santri saat berperan melawan penjajah. Hal itu diungkapkan langsung oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, karena beberapa santri dahulunya merupakan pahlawan bangsa.
Tak hanya sampai di situ saja cerita perjuangan santri untuk memerdekakan Indonesia ini. Sebab, hal yang paling menakjubkan dari perjuangan santri ialah, berperang dengan penjajah menggunakan bambu runcing.
Dan untuk diketahui, senjata bambu runcing yang digunakan untuk berperang melawan penjajah waktu itu. Ternyata terlebih dahulu didoai oleh Kiai Subchi Parakan Temanggung.
Lantas siapakah Kiai Subchi Parakan itu? Ya, seorang pahlawan Indonesia yang dikenal dengan sapaan Kiai Bambu Runcing. Dilansir dari NU Online, Kiai Subchi itu lahir di Parakan, Temanggung Jawa Tengah, sekitar tahun 1850.
Bahkan, beliau tak hanya disapa Kiai Bambu Runcing saja, terkadang beliau juga sering disapa Subchi atau sering disebut Subeki.
Subeki ini merupakan putra sulung dari Kiai Harun Rasyid, seorang penghulu masjid. Pada masa kecilnya, ia sering disapa Muhammad Benjing. Nama itu disandang ketika sejak lahir. Namun setelah menikah, namanya diganti menjadi Somowardojo. Akan tetapi, nama itu diganti ketika ia naik haji, menjadi Subchi.
Subchi memilik kakek bernama Kiai Abdul Wahab, yang merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta.
Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Dipanegara, dalam periode Perang Jawa (1825-1830). Ketika laskar Dipanegara kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri.
Kiai Wahab kemudian mengundurkan diri untuk menghindar dari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan.
Kawasan Parakan merupakan titik penting arus transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang.
Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah.
Namun di sela-sela persiapan, pasukan Belanda tak henti-hentinya mengejar pengikut Dipanegara di berbagai pelosok Jawa, terutama Yogyakarata, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, yang paling mirisnya, ketika Ibunda Kiai Subchi mengandung, Belanda masih sering mengejar keturunan Kiai Wahab, serta santri-santri yang diduga menjadi pengikut Dipanegara.
Tahun 1885, saat itu Subchi masih kecil dan berada di gendongan ibundanya untuk mengungsi dari kejaran pasukan Belanda. Subchi kecil yang dididik oleh orang tuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayahanda Kiai Mahfudh Sumolangu, Kebumen).
Dari mengikuti ngaji di pesantren itu, Kiai Subchi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Parakan yang merupakan sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung, memiliki arti penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebab, pada awal abad 20, Temanggung menjadi basis pergerakan Sarekat Islam (SI). Kaum santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI.
Bahkan, di Parakan juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto.
Pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507 (Thamrin, 2008).
Singkat cerita, ketika pasukan Belanda menyerbu kembali Jawa pada Desember 1945, barisan santri dan kiai bergerak bersama warga untuk melawan. Pertempuran di Ambarawa pada Desember 1945 menjadi bukti nyata.
Bahkan, Jendral Sudirman berkunjung ke kediaman Kiai Subchi untuk meminta doa berkah dan bantuan dari Kiai Subchi. Jendral Sudirman sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi.
Dari narasi ini, dapat diketahui bahwa Jenderal Sudirman merupakan santri Kiai Subchi. Memang, dalam catatan sejarah, Kiai Subchi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan.
Bahkan, jiwa bisnisnya tumbuh seiring dengan kesuburan tanah di lereng Sindoro – Sumbing. Pertanian menjadi andalan, dengan pelbagai macam tanaman yang menjadi ladang pencaharian warga. Maka wajar saja, saat ini Parakan dikenal sebagai kawasan andalan dengan hasil tembakau terbaik di Jawa.
Namun pada waktu itu, Kiai Subchi sering membagikan hasil pertanian, maupun menyumbangkan lahan kepada warga yang tidak memilikinya. Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani warga dan memiliki kharisma kuat.
Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris.
Nama terakhir merupakan ayahanda Kiai Muhaiminan Gunardo, yang menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang.
Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi.
Kiai Subchi dikenal sebagai kiai 'alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah.
Kiai ini, dikenal sebagai "Kiai Bambu Runcing", karena pada masa revolusi meminta pemuda-pemuda untuk mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma' dan doa khusus. (aag)