- AP Newsroom
Tahanan Wanita Meninggal, Masyarakat Iran Protes Sebabkan 9 Demonstran Tewas
Jakarta - Bentrok yang terjadi di Iran mengakibatkan beberapa orang tewas. Para pendemo Iran emosi atas kematian Mahsa Amini, seorang wanita muda yang ditahan karena diduga melanggar aturan berpakai yang diberlakukan secara ketat.
Kematian Mahsa Amini, telah memicu kecaman tajam dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan PBB.
Kerusuhan yang terjadi akibat bentrok ini adalah yang terburuk selama beberapa tahun. Pengunjuk rasa melampiaskan kemarahannya atas represi sosial dan krisis yang memuncak di negara itu.
Untuk mencegah terjadinya penyebaran protes, salah satu operator telekomunikasi terbesar di Iran menutup akses internet seluler.
Operator telekomunikasi menyatakan bahwa pembatasan ini adalah yang paling parah sejak 2019 saat kenaikan harga bensin yang dilakukan oleh pemerintah.
Protes semakin berkembang menjadi tantangan terbuka bagi pemerintah. Beberapa perempuan melepas dan membakar jilbab mereka di jalanan.
Dilansir dari Apnews, salah seorang penyiar televisi Iran mengatakan bahwa unjuk rasa ini telah mengakibatkan 17 orang tewas. Namun, ia tidak mengatakan bagaimana ia bisa mencapai angka tersebut.
Pasalnya, Pengawal Revolusi Paramiliter mendesak pengadilan untuk menuntut siapapun yang menyebarkan berita hoax mengenai kerusuhan tersebut di sosial media.
"Siapa pun yang menyebarkan berita palsu dan desas-desus,” jelas Pengawal Revolusi Paramiliter, dilansir dari Apnews, Jumat (23/9/2022).
Namun, berdasarkan pernyataan dari media pemerintah dan semi resmi Iran diketahui, sedikitnya terdapat 9 demonstran tewas.
Di provinsi asal Amini, Kurdistan, kepala polisi provinsi mengatakan 4 pengunjuk rasa ditembak mati.
Di Kermanshah, jaksa mengatakan 2 pengunjuk rasa tewas, bersikeras bahwa peluru tidak ditembakkan oleh pasukan keamanan Iran.
Tiga pria yang berafiliasi dengan Basij, pasukan sukarelawan di bawah Garda, tewas dalam bentrokan di kota Shiraz, Tabriz dan Mashhad.
Polisi Iran mengatakan bahwa Mahsa meninggal bukan karena dianiaya, melainkan serangan jantung. Namun, keluarga Mahsa meragukan pengakuan dari para polisi Iran.
Seorang pakar Independen yang berafiliasi dengan PBB mengatakan bahwa laporan menunjukan Mahsa dipukuli habis-habisan oleh polisi, tanpa memberikan bukti.
Presiden Iran, Ebrahim Raisi mengatakan di sela-sela Sidang Umum PBB di New York bahwa kasus kematian Mahsa harus diselidiki dengan tegas. Dibalik perkataannya itu, Ebrahim justru membalikan keadaan di negara yang dia kunjungi untuk Sidang Umum PBB.
“Bagaimana dengan kematian orang Amerika ditangan penegak hukum Amerika Serikat? Standar yang sama di seluruh dunia dalam menangani kematian semacam itu ditangan pihak berwenang,” jelas Presiden Iran.
Ebrahim Raisi mengatakan bahwa pihak berwenang sudah melakukan yang terbaik dalam kasus Mahsa. Ia juga telah mendatangi keluarga Mahsa dan mengatakan bahwa pihak berwajib akan terus menyelidiki insiden yang terjadi.
“Saya menghubungi keluarganya pada kesempatan pertama dan saya meyakinkan mereka bahwa kami akan terus menyelidiki insiden itu. Perhatian utama kami adalah melindungi hak-hak setiap warga negara,” pungkasnya. (mg4/ree)