- Istimewa
Joko Widodo dan ILUNI UI Soroti Hambatan Klasik Penanggulangan Bencana RI: Tanggap Darurat Harus Berani Mendobrak
Jakarta, tvOnenews.com - Bencana Banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali mengungkapkan masalah krusial dalam penanggulangan bencana Indonesia:
Hal itu menjadi sorotan dalam forum diskusi publik “Memperkuat Sinergi Penanggulangan Bencana di Indonesia” yang diselenggarakan oleh ILUNI UI belum lama ini,
Lemahnya koordinasi lintas sektor, lambatnya respons, serta minimnya pemanfaatan data ilmiah dan teknologi secara terpadu masih menjadi persoalan klasik.
Para ahli pun menyoroti bahwa peringatan berbasis sains sebenarnya telah tersedia jauh sebelum bencana terjadi, namun tidak dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Dari sisi operasional, Ketua Task Force Penanggulangan Bencana BRIN, Joko Widodo, menyoroti tajam soal hambatan klasik birokrasi.
“Masalah utama di Indonesia ada tiga: koordinasi, koordinasi, dan koordinasi. Tanggap darurat harus berani mendobrak kebuntuan birokrasi agar kita bisa bergerak cepat," ujarnya dalam diskusi daring yang dikutip, Selasa (9/12/2025).
Ia mengingatkan bahwa duplikasi kerja antar lembaga membuat waktu penanganan semakin berlarut, “Seringkali satu lembaga bekerja, lembaga lain mulai lagi dari awal. Ini harus dihentikan.”
BRIN menegaskan komitmennya menyediakan akses data, pemetaan terdampak beresolusi tinggi, serta dukungan teknis bagi pemerintah pusat dan daerah. “Data dan analisis BRIN dapat langsung digunakan untuk rekonstruksi tanpa perlu memulai dari nol” ujar Joko.
Ia menambahkan bahwa pada kenaikan suhu 1,5°C, Indonesia berpotensi menghadapi hingga 23.000 titik bencana per tahun, lonjakan delapan kali lipat dari kondisi saat ini.
Di sisi lain, Climate and Energy Manager Greenpeace Southeast Asia Iqbal Damanik, mengkritisi rendahnya pemanfaatan rekomendasi ilmiah. “Para ilmuwan sudah mengingatkan sejak lama, tetapi rekomendasi sains sering kali tidak diakomodasi sebelum bencana terjadi. Kita punya data dan prediksi, tetapi tanpa tindakan, semua itu hanya menjadi arsip,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) DKI Jakarta, Narila Mutia Nasir, menegaskan bahwa pendekatan kesehatan masyarakat harus menjadi pondasi utama dalam setiap fase penanggulangan bencana. “Penanggulangan bencana bukan hanya soal logistik dan infrastruktur. Ini persoalan kesehatan publik. Dan kesehatan publik hanya bisa terjaga jika semua sektor bergerak bersama, berbagi data, dan saling memperkuat.”
Executive Director Salam Setara, Ahmad Mujahid, menyampaikan, “Penanggulangan bencana yang efektif lahir dari kolaborasi dari banyak stakeholder, warga yang peduli, lembaga yang sigap, hingga teknologi yang mempercepat aksi.”
ILUNI UI menekankan bahwa sinergi ini hanya dapat terjadi jika kolaborasi menjadi budaya, bukan hanya inisiatif insidental. Pramudya A. Oktavinanda, Ketua Umum ILUNI UI, menyatakan dalam sambutannya menyebut Indonesia tidak kekurangan ahli, teknologi, atau kapasitas.
"Yang kita butuhkan adalah kemauan untuk bekerja bersama dengan semangat kolaboratif di antara pemerintah, akademisi dan masyarakat umum serta pendekatan yang holistik dikarenakan kompleksitas penanganan, mitigasi, rekonstruksi, serta pencegahan bencana. Kami berharap kegiatan ini dapat memberikan masukan yang positif bagi para pemangku kepentingan di Indonesia sehingga bangsa kita dapat secara kolektif beradaptasi dan saling bahu membahu menghadapi tantangan krisis iklim," tegasnya.