- Antara
Sebelum KUHAP Baru Berlaku, Komnas HAM: Pemerintah untuk Mempertimbangkan Adanya Waktu Transisi
Jakarta, tvOnenews.com - Sebelum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diberlakukan secara efektif, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah mempertimbangkan adanya masa transisi yang memadai.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebutkan bahwa KUHAP yaitu hukum acara pidana di Indonesia yang mengatur proses penegakan hukum pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga eksekusi putusan.
Bahkan dia jelaskan, bahwa KUHAP berfungsi sebagai hukum pidana formal, berbeda dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berisi hukum pidana materiil.
“Komnas HAM meminta pemerintah untuk mempertimbangkan adanya waktu transisi yang memadai sebelum KUHAP diberlakukan secara efektif,” ungkap Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, pada Sabtu (22/11/2025).
Selain itu, ia juga tegaskan, hal ini penting untuk memastikan kesiapan seluruh aspek penegakan hukum, apalagi pemberlakuan efektif KUHP yang baru adalah tiga tahun sejak disahkan pada 6 Desember 2022.
Komnas HAM juga telah melakukan kajian atas RKUHAP tahun 2023 dan 2025.
Dalam kajian tersebut, Komnas HAM menemukan sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru yang dinilai berpotensi melanggar HAM.
Salah satunya terkait penyelidikan dan penyidikan, termasuk penggunaan upaya paksa yang dianggap masih lemah dari sisi pengawasan sehingga rawan disalahgunakan.
Kemudian, Anis menekankan pentingnya pembatasan yang jelas terhadap kewenangan penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyadapan, serta memastikan adanya mekanisme keberatan bagi pihak yang dirugikan.
Komnas HAM juga menyoroti mekanisme praperadilan yang dinilai hanya memeriksa aspek formil, bukan materiil, sehingga belum efektif mengontrol kualitas penegakan hukum ketika terjadi intimidasi atau kekerasan.
“Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP belum mencerminkan keresahan publik bahwa mekanisme praperadilan belum mampu secara efektif mengatasi kelemahan penegakan hukum,” beber Anis.
Selain itu, perubahan pengaturan alat bukti yang memasukkan frasa “segala sesuatu” dinilai terlalu luas dan berisiko melegitimasi bukti ilegal,ermasuk hasil penyadapan yang tidak sah.
Komnas HAM mendorong adanya uji admisibilitas untuk memastikan alat bukti diperoleh secara patut.
Komnas HAM juga menilai belum ada kejelasan mengenai konsep koneksitas perkara yang melibatkan unsur sipil dan militer.