- tvOneNews
Buntut Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Ahli Psikologi Forensik Lontarkan Komentar Menohok Soal Bullying
Jakarta, tvOnenews.com - Buntut insiden ledakan terjadi di Musala SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) siang atau pada saat ibadah Salat Jumat sedang berlangsung. Ternyata menyedot perhatian publik hingga menuai komentar dari Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel.
Dalam pengamatan Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, disampaikan terduga pelaku ledakan sudah diketahui.
"Dia adalah seorang pelajar kelas XII SMAN 72 Jakarta yang berinisial FN. Berdasarkan keterangan saksi yang mengetahui keseharian FN, dia adalah korban bullying," jelasnya.
Kemudian jelaskan, bahwa korban bullying adalah individu yang mengalami tindakan agresif, menyakitkan, atau merendahkan secara berulang dari orang lain, baik secara fisik, verbal, sosial, maupun melalui media digital (cyberbullying).
"Peledakan di SMAN 72 kita asumsikan berhubungan dengan bullying ya. Itu narasi yang sudah beredar luas."
"Dari kerja-kerja saya di sejumlah organisasi perlindungan anak, saya harus katakan bahwa peristiwa di SMAN 72 adalah satu bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan," bebernya.
Lanjut dia, keterlambatan itu membuat korban, setelah menderita sekian lama, akhirnya bertarung sendirian dan dalan waktu sekejap bergeser statusnya menjadi pelaku kekerasan, pelaku brutalitas, dan julukan-julukan berat sejenis lainnya.
Korban Bullying Acap Alami Viktimisasi Berulang
Selain itu dia jelaskan, bahwa Viktimisasi adalah proses di mana seseorang menjadi korban akibat tindakan orang lain, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun hukum.
"Viktimisasi pertama saat dia dirundung teman-temannya. Viktimisasi kedua terjadi saat korban mencari pertolongan."
"Oleh pihak-pihak yang semestinya memberikan bantuan, korban justru diabaikan, masalahnya dianggap sepele dan biasa, dipaksa bertahan dan cukup berdoa, dan seterusnya," bebernya.
"Andai mereka melapor ke polisi, misalnya, polisi pun boleh jadi memaksa korban untuk memaafkan pelaku dan secara simplistis menyebutnya sebagai restorative justice. Sehingga, terjadilah viktimisasi ketiga," ucapnya.
Lalu dia katakan, puncak kesengsaraan korban, yakni kekerasan terhadap diri sendiri atau kekerasan terhadap pihak lain.
"Belum sempat kita memberikan pertolongan kepada dia selaku korban, justru hukuman berat yang tampaknya sebentar lagi akan kita timpakan kepada dia sebagai pelaku. Getir, menyedihkan."
"Sembilan puluhan persen anak yang menjadi pelaku bullying ternyata juga berstatus sebagai korban bullying, bebernya.
Kembali dia jelaskan, data ini membuat persoalan tidak bisa dipandang hitam putih belaka.
Idealnya, kata dia, perilaku perundungan tidak lagi ditinjau sebatas sebagai dinamika jamak dalam proses perkembangan anak.
Perilaku perundungan sudah semestinya disikapi sebagai agresi berkepanjangan dari anak-anak yang mengekspresikan dirinya dengan cara berbahaya, sehingga harus dicegat secepat dan seserius mungkin.
Bahkan kata dia, menjadikan bullying sebagai perkara pidana pun masuk akal.
"Tambahan lagi, karena siswa dimaksud masih berusia anak-anak, maka kita harus membuka UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)."
"SPPA itu mengingatkan bahwa anak yang melakukan pidana tetap harus dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan. Negara, termasuk masyarakat, membersamainya menuju masa depan," jelasnya.
Kemudian ia lontarkan pertanyaan, bagaimana UU SPPA mewanti-wanti sedemikian rupa menginsafkan kita bahwa pada dasarnya pertanggungjawaban pidana (penjara dll.) memang dikenakan kepada ybs. Tapi proses hukum harus meninjau secara multidimensi dan multifaktor.
"Karena itulah, di persidangan kasus korban bullying menjadi pelaku, saya selalu mendorong hakim agar menerapkan Bioecological Model (BM) dan Interactive Model (IM)."
"BM meninjau lima lingkungan yang menaungi kehidupan anak. IM melihat anak dan lingkungannya berpengaruh satu sama lain," ucapnya.
Lanjut kata dia, memang butuh kerja keras lintas pemangku kepentingan untuk merealisasikannya. Itu bertentangan dengan azas persidangan hukum "cepat, sederhana, berbiaya ringan".
"Karena itulah, simpulan saya, putusan hakim tetap saja memakai format penyikapan yang sama dengan persidangan terhadap pelaku dewasa."
"Yakni, sulit bagi korban bullying mendapat peringanan sanksi. Dia tetap sendirian menjalani konsekuensi hukum atas 'aksi kejahatan'-nya," pungkasnya. (aag)