news

Daerah

Bola

Sport

Gaya Hidup

Video

Tvone

Viral Hacker Bjorka Kembali Beraksi, Lembaga Riset Keamanan Siber Ungkap Dampak Berbahaya.
Sumber :
  • Istimewa

Viral Hacker Bjorka Kembali Beraksi, Lembaga Riset Keamanan Siber Ungkap Dampak Berbahaya

Viral di media sosial aksi akun hacker yang mengatasnamakan Bjorka kembali geger dengan meretas akun yang diduga milik Roy Suryo berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor ponsel, nama operator seluler, tanggal registrasi kartu.
Senin, 20 Oktober 2025 - 21:37 WIB
Reporter:
Editor :

Jakarta, tvOnenews.com - Viral di media sosial aksi akun hacker yang mengatasnamakan Bjorka kembali geger dengan meretas akun yang diduga milik Roy Suryo berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor ponsel, nama operator seluler, tanggal registrasi kartu. 

Kabar viral itu turut diunggah oleh akun TikTok @hens4308 yang menampilkan potongan aksi peretasan hacker Bjorka tersebut.

Bahkan terdapat potongan gambar yang menampilkan hacker Bjorka meretas dengan klaim memiliki 128.293.821 rekam data berformat .SQL yang memuat NIK, nomor telepon, operator, hingga tanggal registrasi.

Menanggapi hal itu, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha mengatakan dugaan kebocoran tersebut menandakan bahwa data pribadi masih sangat rentan. 

Kendati demikian, ia meminta kebenaran yang dilakukan oleh Bjorka perlu ditelusuri lebih lanjut. 

"Sekalipun kebenarannya masih dalam tahap verifikasi, isu ini menegaskan satu hal penting: data pribadi warga, khususnya yang berkaitan dengan nomor telepon dan identitas resmi, kini menjadi aset yang sangat rentan sekaligus berharga di pasar gelap siber," kata Pratama, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Pratama menuturkan dalam konteks keamanan nasional dan perlindungan data pribadi insiden seperti ini tak sekadar pelanggaran privasi tetapi juga potensi ancaman terhadap integritas sistem otentikasi digital di Indonesia.

Menurutnya jika kebocoran tersebut benar adanya dapat berdampak meluas jauh melampaui sisi teknis. 

Kebocoran data SIM membuka peluang besar bagi pelaku kejahatan untuk melakukan SIM-swap, yakni pengambilalihan nomor telepon korban. 

"Melalui teknik ini, pelaku dapat menerima SMS verifikasi dan mengakses akun perbankan, dompet digital, hingga akun media sosial korban," ujarnya. 

Pratama menilai ancamannya tidak berhenti melainkan data hasil kebocoran sering kali digabungkan dengan basis data lain seperti data kependudukan, kesehatan, atau pajak untuk menciptakan identitas sintetis baru yang digunakan dalam penipuan finansial atau kejahatan terorganisir. 

"Kampanye penipuan yang semakin personal, rekayasa sosial, hingga manipulasi opini publik menjadi lebih mudah dilakukan ketika data seseorang tersebar di ruang maya. Pada skala negara, kebocoran ini bahkan dapat dipakai untuk melakukan profiling terhadap pejabat publik atau aparat keamanan, menciptakan risiko terhadap keamanan informasi strategis," ungkapnya. 

Pratama menekankan, krisis seperti ini semestinya menjadi momentum untuk memperkuat regulasi dan tata kelola data nasional. 

Operator telekomunikasi harus memperketat proses validasi pelanggan dengan sistem multi-faktor, bukan hanya mengandalkan KTP dan KK. 

"Proses pemindahan nomor antar-operator perlu pengamanan tambahan seperti port freeze dan audit log yang terenkripsi. Sementara itu, regulator harus memastikan adanya mekanisme audit berkala, sanksi tegas bagi operator yang lalai, dan kewajiban notifikasi kebocoran kepada publik," tegasnya. 

Lebih lanjut, kata Pratama, peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya percepatan implementasi UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) beserta pembentukan Badan Perlindungan Data Pribadi (Badan PDP) yang berfungsi independen. 

Sebab, tanpa otoritas yang berwenang menegakkan standar keamanan data dan memantau seluruh lembaga penyimpan data, kebocoran serupa akan terus berulang tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. 

"Badan PDP harus diberi kewenangan untuk melakukan audit, memberikan rekomendasi sanksi, serta mendorong penerapan teknologi enkripsi dan anonimisasi data yang memadai," ungkapnya.

Dari sisi masyarakat, saran Pratama, peningkatan literasi keamanan digital menjadi kunci. Pengguna perlu memahami risiko menggunakan SMS sebagai metode autentikasi dan mulai beralih ke sistem two-factor authentication berbasis aplikasi. 

"Pemerintah dan sektor swasta juga dapat menyediakan kanal pemulihan identitas serta layanan pemantauan akun bagi korban kebocoran. Dengan begitu, dampak lanjutan seperti penipuan dan pencurian identitas dapat diminimalkan," pungkasnya. (raa)

Berita Terkait

Topik Terkait

Saksikan Juga

05:05
01:59
02:45
02:14
01:33
04:47

Viral