- ANTARA
Wilayah Sulteng 'Curhat' soal Tambang, Pengamat: UUD 45 Wajib Jadi Dasar Keadilan
Jakarta, tvOnenews.com - Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Anwar Hafid sempat menyatakan keluhannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI pada 29 April 2025.
Dalam rapat kala itu, Anwar mengungkap jika wilayahnya yang menjadi salah satu penghasil devisa terbesar justru hanya mendapatkan dana berkisar Rp200 miliar dari aktivitas usaha tambang yang ada.
Merespons hal tersebut, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) mengatakan perlunya evaluasi total terhadap sistem pengelolaan tambang nasional.
Ia mengingatkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar teks hukum, melainkan jiwa konstitusi yang menuntut agar kekayaan alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir elite atau hanya pemerintah pusat.
“Kalau gubernur di wilayah tambang tidak diberi kuasa, padahal dia adalah wakil rakyat di provinsi, maka ada yang sangat keliru dalam penerapan undang-undang,” kata Haidar, Jakarta, Minggu (3/8/2025).
Haidar menuturkan dalam rapat tersebut, Anwar mengungkapkan bahwa dirinya tidak dapat mengakses kawasan industri tambang di Morowali.
Bahkan NPWP perusahaan-perusahaan besar tambang di sana terdaftar di Jakarta, bukan di lokasi operasional.
“Ini bukan hanya tentang kewenangan administratif, tapi soal harga diri dan tanggung jawab konstitusional seorang kepala daerah,” kata Haidar.
Haidar menilai bahwa sistem hukum saat ini telah menggeser posisi gubernur menjadi sekadar simbol politik, tanpa kontrol nyata terhadap potensi alam yang ada di wilayahnya sendiri.
Menurutnya Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi kompas dalam menyusun seluruh kebijakan pertambangan nasional.
“Kita menyaksikan fenomena ironis provinsi kaya sumber daya, tapi dana bagi hasil hanya ratusan miliar rupiah. Sementara dampak ekologis, sosial, dan ekonomi ditanggung sepenuhnya oleh rakyat lokal,” ucap Haidar.
“UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, bahkan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, telah mencabut akar konstitusional daerah. Padahal UUD 45 sudah sangat jelas: rakyat adalah pemilik sah kekayaan alam, bukan hanya pusat pengendali administrasi,” sambungnya.
Haidar Alwi menyebut bahwa penyebab utama ketimpangan ini adalah sentralisasi fiskal dan teknokratisme hukum yang tidak memberi ruang bagi otoritas daerah.
Karena itu, revisi terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, bukan tambal sulam atau sekadar peningkatan alokasi dana kompensasi.