- tim tvone
Kisruh Rempang, Menteri Bahlil: Kami Ini Berkompetisi! Lembaga HAM: Ambisi Investasi Destruktif
Jakarta, tvonenews.com - Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan percepatan pengembangan proyek Rempang Eco-City adalah upaya pemerintah untuk berkompetisi mendapatkan investasi langsung dari luar negeri (foreign direct investment/FDI).
Sikap pemerintah ini dinilai oleh Solidaritas Nasional Untuk Rempang, kumpulan lembaga pemerhati HAM, sebagai ambisi investasi yang berimplikasi destruktif. Demikian disampaikan melalui publikasi bertajuk "Keadilan Timpang di Pulau Rempang", temuan awal investigasi atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM 7 September di Pulau Rempang.
"Peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang, Batam merupakan bagian dari kekerasan yang berbasis pada kepentingan modal/kapital," tulis publikasi yang dilihat, Senin (18/9/2023).
Solidaritas Nasional Untuk Rempang merupakan kumpulan sembilan lembaga pemerhati HAM, yakni, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pekanbaru, Eksekutif Nasional WALHI, WALHI Riau, KontraS, Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Trend Asia.
Lembaga itu menambahkan, masuknya investasi yang disinyalir dengan total target investasi --yang diklaim mencapai Rp381 triliun-- hingga tahun 2080 mendatang dan diyakini mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 306.000 orang, telah menimbulkan begitu banyak persoalan.
"Pengembangan Pulau Rempang yang awalnya diharapkan bisa memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, sayangnya dilakukan dengan menggusur dan mengusir masyarakat dari ruang hidupnya," demikian publikasi itu.
Dalam laporan itu, juga menyebut sikap pemerintah yang menganut watak developmentalis dan pembangunanisme pada akhirnya sangat berbahaya dan meminggirkan hak-hak masyarakat.
"Situasi ini semakin parah diiringi dengan pendekatan keamanan yang mana melibatkan aparat keamanan," tulisnya.
Berkaitan dengan Pulau Rempang, lokasi ini oleh pemerintah pusat dipandang sebagai tanah kosong tanpa penghuni, padahal warga telah menempati lokasi sejak tahun 1843.
"Ambisi investasi telah berimplikasi destruktif, ditandai dengan romantisme yang terbangun aparat aparat dengan investor," demikian publikasi itu.
Banyak Korban
Sembilan lembaga pemerhati HAM melaporkan bahwa jika didalami peristiwa 7 September di Pulau Rempang, sebetulnya baik dari masyarakat dan aparat keamanan, kedua pihak timbul korban.
"Martabat institusi, khususnya Kepolisian dipertaruhkan dan rela untuk dibenturkan dengan masyarakat di lapangan" sebut laporan itu.
Lebih jauh, kekuatan Kepolisian yang seringkali dilakukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban selalu dibangun atas paradigma klasik. Aparat masih berfokus pada pendekatan keamanan yang berbasis pada doktrin dan filosofi akumulasi kekuatan, penggunaan senjata, dan pendekatan kekerasan.
"Hal tersebut tak dapat dipertahankan, sebab seharusnya kita bisa menyeret paradigma keamanan menuju ke arah pendekatan humanis yakni dilakukan secara emansipatif dan bertujuan," demikian disebut dalam laporan itu.
Lembaga itu justru menilai BP Batam, selaku pihak yang berwenang atas iklim masuk investasi di Batam terlihat memiliki kuasa atas Kepolisian.
"Sebagai contoh, di tanggal 7 September 2023, bentrokan akhirnya pecah dan terjadi kekerasan tak terlepas dari permintaan pengawalan BP Batam kepada Polresta Barelang untuk mengawal aktivitas pematokan lahan. Hal ini problematik dan tidak perlu, sebab pematokan tanah seharusnya tidak diiringi pendekatan keamanan yang melibatkan aparat TNI-Polri," papar hasil dokumen hasil investigasi HAM itu.
Lebih jauh, pola kekerasan yang berelasi dengan kepentingan investasi berakar pada suatu lokasi yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Atas nama PSN semuanya bisa dilakukan, seperti menggusur dan merampas ruang hidup masyarakat.
"Temuan kami menunjukkan bahwa aparat di lapangan seringkali “berpihak” pada perusahaan dan mengabaikan tuntutan masyarakat."
Kompetisi Investasi
Sementara itu Menteri Bahlil menegaskan, percepatan pelaksaan proyek Rempang Eco-City seolah olah berkejaran dengan waktu. Menurut Bahlil, investasi itu tidak seperti buah yang tumbuh dari sebuah pohon. Investasi itu harus direbut, sehingga bisa menciptakan lapangan pekerjaan.
"Kami ini berkompetisi, negara tujuan foreign direct investment (FDI) terbesar di ASEAN saat ini diraih negara Singapura di posisi pertama. Sementara itu, Indonesia dengan luas wilayah lebih besar, justru berada di posisi kedua. Ini kami mau merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan," kata Bahlil di Batam Kepulauan Riau, Minggu (17/9).
Untuk itu, Bahlil menegaskan, perebutan proyek investasi asing ini butuh kecepatan dan ketepatan yang tidak menimbulkan kerugian di satu pihak.
"Kalau kita terlalu lama, memangnya mereka (investor) mau menunggu kita? Kita butuh mereka, tapi di sisi lain, juga harus menghargai yang di dalam," ujarnya.
Ia mengungkapkan total nilai investasi yang akan diserap dari proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City ini mencapai lebih dari Rp300 triliun. Di pengembangan tahap awal, investor akan menggelontorkan kurang lebih Rp175 triliun.
Dengan itu, menurutnya, akan berdampak positif terhadap capaian pendapatan negara, serta dampaknya juga dapat dirasakan oleh masyarakat berupa lapangan pekerjaan yang melimpah.
"Kalau ini lepas, itu berarti potensi capaian PAD (pendapatan asli daerah) dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini akan hilang," jelasnya.
Namun, kata dia, tentu pihaknya akan menggunakan cara-cara yang lebih humanis dalam menghadapi masyarakat Pulau Rempang yang terdampak relokasi akibat proyek ini. "Kami akan mengerahkan cara-cara yang lembut," kata dia
Ganti Rugi Disesuaikan
Menteri Bahlil juga menegaskan ganti rugi warga Rempang yang terdampak investasi akan disesuaikan dengan aset yang dimiliki oleh warga tersebut.
Dia menjelaskan, uang ganti rugi yang disesuaikan itu dihitung dari hak-hak yang sebelumnya sudah ditetapkan dan akan diberikan kepada warga, yakni tanah seluas 500 meter persegi sudah dengan alas hak, rumah tipe 45 seharga Rp120 juta, uang tunggu transisi hingga rumah jadi sebesar Rp1,2 juta per jiwa dan uang sewa rumah Rp1,2 juta.
"Yang kali ini harus saya sampaikan adalah, bagi warga yang memang alas hak nya sudah ada dan bangunannya itu bagus, yang bukan tipe 45. Contoh, bangunannya bagus tapi ternyata rumahnya itu dihargai 350 juta, itu akan dilihat oleh KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik), dan selisihnya itu akan diselesaikan oleh BP Batam. Termasuk dengan keramba, tanaman, sampan, semua ini akan dihargai secara proporsional sesuai dengan mekanisme dan dasar perhitungannya," ujar Menteri Bahlil.
"Kami tetap memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun temurun disana. Dan kita harus melakukan komunikasi dengan baik seperti sebagaimana layaknya lah. Kita ini kan sama-sama orang kampung, ya kita harus bicarakan," katanya.
Kemudian pihaknya juga membahas terkait pencabutan izin beberapa oknum yang membangun usaha atau memiliki lahan di Rempang. "Ini juga harus membutuhkan penanganan khusus," kata dia.
Dia juga menyebutkan akan melakukan rapat setiap minggunya bersama Gubernur dan BP Batam untuk membahas percepatan pengembangan kawasan tersebut.
"Yakinlah bahwa ini investasinya untuk kesejahteraan rakyat. Ini menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan masyarakat yang akan kita geser, pergeseran dari pulau itu, itu mereka juga akan diberikan hak-haknya," ujar Bahlil. (ant/ito)