- ANTARA
Tragedi Kelaparan di Gaza dan Barat yang Diam
Kelaparan di Gaza bukan hanya bencana moral; ini merupakan ujian politik yang mendalam bagi hukum internasional dan kredibilitas demokrasi Barat, yang semakin lama semakin terkikis reputasinya secara global.
Harus diingat bahwa tindakan membuat kelaparan sebagai senjata secara eksplisit dilarang dalam Konvensi Jenewa dan Statuta Roma, tetapi kejahatan ini ada di depan mata, di bawah pengawasan negara-negara yang mengklaim menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga pengabaian itu justru merusak norma-norma kemanusiaan internasional yang telah ada.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh empat negara besar di Barat, yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Prancis, dan Jerman?
Pertama, Amerika Serikat memiliki pengaruh yang tak tertandingi atas Israel melalui bantuan militer, perlindungan diplomatik, dan hubungan ekonomi. Untuk menghentikan kelaparan, Washington harus setidaknya mensyaratkan bantuan militer berdasarkan kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan, alih-alih menawarkan dukungan tanpa syarat.
Selain itu, Negeri Paman Sam itu juga harus mengakhiri hak vetonya di Dewan Keamanan PBB, yang menghalangi seruan untuk gencatan senjata kemanusiaan dan akuntabilitas.
AS juga dapat menekan Mesir dan Israel untuk membuka semua penyeberangan bagi pengiriman bantuan tanpa batas di bawah pengawasan internasional. Tanpa tindakan tegas AS, semua upaya lain berpotensi akan gagal.
Hentikan ekspor ke militer Israel
Kedua, Inggris yang kerap membingkai dirinya sebagai pembela prinsip-prinsip kemanusiaan, harus segera menghentikan ekspor senjata dan barang-barang untuk keperluan militer lainnya ke Israel, serta mengembalikan pendanaan penuh kepada UNRWA, lembaga yang layak menjadi penyalur utama kemanusiaan Gaza.
Inggris juga dapat menggunakan pengaruh diplomatiknya untuk mendorong resolusi PBB yang mengikat yang menuntut akses bantuan yang aman, alih-alih bersekutu dengan veto AS atau abstain, yang bila terus dilakukan maka akan meruntuhkan kredibilitas London sebagai advokat global untuk hak asasi manusia.
Ketiga, Prancis yang memposisikan dirinya sebagai pendukung penegakan hukum internasional, harus segera memberikan responsnya terhadap Gaza yang signifikan, meski rencana untuk mengakui kedaulatan Negara Palestina pada Sidang Umum PBB September 2025 mendatang layak untuk diapresiasi.