news

Daerah

Bola

Sport

Gaya Hidup

Video

Tvone

Wim Tohari Daniealdi, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung..
Sumber :
  • Istimewa

Pengamat Politik dan Pertahanan Soroti Terkait Pengerahan TNI ke Kejaksaan

Dosen Hubungan Internasional FISIP UNIKOM Bandung mempertanyakan dasar hukum dan urgensi kebijakan pengerahan personel TNI ke kantor Kejaksaan.
Kamis, 15 Mei 2025 - 21:10 WIB
Reporter:
Editor :

Jakarta, tvOnenews.com - Wim Tohari Daniealdi, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung yang juga dikenal sebagai pakar politik, hukum, pertahanan dan keamanan menanggapi soal pengerahan personel TNI ke kantor-kantor Kejaksaan di seluruh Indonesia.

Dia mempertanyakan dasar hukum dan urgensi kebijakan pengerahan personel TNI ke kantor Kejaksaan tersebut.

“Tidak ada peristiwa luar biasa yang mengancam eksistensi lembaga kejaksaan. Maka, pengerahan ini sangat tidak proporsional dan berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar tata kelola negara demokratis,” tegas Wim dalam keterangannya, Kamis (15/5/2025).

Dia menekankan nota kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk pengerahan militer bersenjata.

“Telegram Panglima TNI bukanlah keputusan politik negara. Instruksi internal seperti itu tidak bisa menggantikan regulasi formal seperti Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah,” ujarnya.

Dalam konteks hukum, Wim mengacu pada UU No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Undang-undang tersebut menegaskan bahwa setiap pelibatan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) harus melalui keputusan politik negara.

Tanpa itu, maka pelibatan TNI dalam pengamanan objek sipil dapat dianggap melanggar hukum dan semangat reformasi.

“Yang kita saksikan adalah pelonggaran batas antara kekuasaan sipil dan militer. Ini sangat berbahaya karena bisa membuka jalan bagi distorsi fungsi pertahanan dan pelanggaran prinsip supremasi sipil,” jelasnya.

Wim juga mengingatkan bahwa sejarah Indonesia mencatat peran militer yang terlalu dalam dalam urusan sipil selama era Orde Baru.

“Reformasi 1998 mengubah itu semua. 27 tahun yang lalu kita sepakat memisahkan peran militer dari fungsi keamanan dalam negeri dan penegakan hukum. Kebijakan seperti ini seolah ingin menghidupkan kembali bayang-bayang lama yang menumpulkan akuntabilitas dan memperbesar peluang penyalahgunaan kekuasaan," terang dia.

Wim juga mempertanyakan mengapa tugas pengamanan gedung kejaksaan tidak diserahkan kepada kepolisian yang memiliki mandat dan pelatihan yang memadai.

“Polri memiliki lebih dari 600 ribu personel aktif dan kewenangan penuh untuk mengamankan objek vital sipil. Pengerahan militer – yang jumlah personilnya hanya sekitar 400 ribu – dalam kondisi normal hanya memperlihatkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap institusinya sendiri,” tegas dia.

Selain mengkritisi aspek legalitas dan urgensi, Wim juga menyoroti potensi dampak jangka panjang terhadap reformasi sektor keamanan. 

Dia menilai pengerahan TNI ke ranah penegakan hukum sipil dapat menjadi preseden buruk yang melemahkan agenda reformasi TNI pasca-reformasi 1998.

“Selama lebih dari dua dekade kita berjuang memisahkan fungsi militer dari urusan sipil dan penegakan hukum. Kebijakan seperti ini justru membawa kita mundur,” terangnya. 

Wim juga mempertanyakan komunikasi publik dari pemerintah terkait kebijakan ini.

Menurutnya, publik berhak mendapatkan penjelasan terbuka dari Presiden, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Jaksa Agung mengenai alasan di balik pengerahan ini. 

“Ketiadaan transparansi menimbulkan spekulasi dan ketidakpercayaan publik. Dalam negara demokratis, kebijakan yang melibatkan militer seharusnya dibuka seluas-luasnya untuk pengawasan publik,” tegas dia.

Wim berharap DPR RI segera memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai penjelasan dalam forum terbuka.

Sebagai solusi, Wim mendesak Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI untuk segera menghentikan pengerahan ini dan mengembalikan prajurit TNI pada fungsi utamanya menjaga pertahanan negara.

Dia juga menyerukan evaluasi terhadap nota kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan agar tidak dijadikan celah untuk pelibatan militer dalam tugas-tugas sipil.

"Langkah terbaik saat ini adalah menghentikan pelaksanaan kebijakan tersebut. Ia mengingatkan bahwa “21 Mei 2025, usia reformasi akan menginjak 27 tahun. Jangan sampai, agenda-agenda reformasi yang kita perjuangkan dulu, harus kandas di altar konsolidasi,” pungkasnya.(lkf)

Berita Terkait

Topik Terkait

Saksikan Juga

11:47
15:11
07:39
18:33
03:26
01:19

Viral