- Tim Tvone/ Bajo Winarno
Ngayogjazz 2023, Jazz Cara Jawa dan 'Kebo Nyusu Gudel'
Saya tak bisa membayangkan peristiwa kebudayaan seperti Ngayogjazz bisa digelar di luar Yogyakarta.
Eks Ibu Kota Republik ini kaya dengan tradisi srawung, gotong royong, bebrayan, interaksi, keterlibatan sosial. Semacam ketika Merapi meletus, tiba tiba di sejumlah perempatan jalan ada orang yang membagikan nasi bungkus.
Atau lihat bagaimana film film yang dibesut sutradara dari Yogyakarta, semacam Losmen, pada layar kita melihat karya kolaborasi banyak seniman. Semua seperti mudah, saling terhubung dgn cepat.
Maka kita lihat sepanjang jalan masuk ke empat panggung utama di sebuah dusun di Godean, pada medio November lalu, hampir semua penduduk membuka halamannya untuk parkir motor.
Mereka juga membuat mushola darurat di ruang keluarga, toilet umum sementara dari terpal terpal. Gayeng. Suasana pesta kampung ini mengingatkan pada Festival Lima Gunung, festival internasional yang diasuh Sutanto Mendut yang selalu di gelar di dusun dusun Magelang dan sekitarnya.
Ngayogjazz tetap signature Djaduk Ferianto. Multidisiplin, berkualitas, tapi tetap lentur dan gayeng.
Kita tahu Djaduk musisi yang keluar dari kepompong disiplin musik. Ia mengerjakan hampir seluruh infrastruktur kebudayaan di Yogyakarta, sejak forum forum seni, membangun kritik, membangun audiens, memikirkan pemasaran seni, mengembangkan estetik dll. Walhasil festival pun bisa eklektik semacam Djaduk.
Misalnya tiba tiba seorang Trie Utami masuk menyela nyanyian Silir bersama Sinten Remen. Suaranya dibiarkan fals. Gojekan pun terjadi. Lagu selanjutnya giliran Trie Utami dikerjain. Musik pengiring tiba tiba temponya dipercepat. Kewalahan vokalis Krakatau ini mengejar irama. Panggung tentu jadi ramai dengan saling ledek.
Saya beruntung menyaksikan hits Trie Utami, Nurlela diaransemen ala Sintren Remen yang kaya bunyi bunyi perkusi.
Trie Utami saat kolaborasi dengan Sinten Remen (Foto: Bajo Winarno)
Gojek kere, sampakan, guyon parikeno, plesetan terus terjadi antara pembawa acara, musisi, penyanyi di panggung sepanjang perhelatan. "Kota apa yang ukurannya XL?", "Kota Gede", "Kota apa yang tak ada tanjakan?", "Madiun". Plesetan trio pembawa acara menambal kebosanan menunggu perangkat musik disiapkan.
Yang membahagiakan, regenerasi terus terjadi. Dari sejumlah kota kota kecil ternyata bisa tumbuh band jazz yang memainkan musik musik cukup rumit. Saya sempat melihat permainan anak anak muda dari Semarang yang sgt matang dan ekspresif.
Grup Lima Petani dari Bandung menyuguhkan lima repertoar tentang seluruh sisik melik dunia petani, sejak panen, matahari, pelangi dll.
White Shoes & the Couples Company (WSCC).ciptakan koor penonton Ngayogjazz 2023 (sumber foto: Bajo Winarno)
Hebatnya anak anak muda ini cukup dengan instrumental bisa menciptakan imaji soal kehidupan rural, kebahagiaan petani, penantian keluarga saat sawah menguning, misalnya.
Ternyata yang ditunggu tetap White Shoes & the Couples Company (WSCC). Grup penting dalam gerakan musik indie pada awal 2000-an ini langsung menggebrak panggung. Mulanya penonton duduk tertib. Saat Saleh Husein, gitaris WSCC menyebut ada banyak penonton yang tak kebagian tempat, spontan penonton berdiri merangsek ke depan panggung. Ketika lagu Selatan Jakarta dibawakan, seperti biasa koor panjang penonton tercipa. WSCC ternyata belum pernah tampil langsung di event tahunan ini. Saat pandemi grup ini tampil daring di Jakarta.
Demikian, peristiwa peristiwa kebudayaan penting, membawa nilai nilai besar terjadi jauh dari Jakarta. Saya kira sudah saatnya panitia festival festival seni di Jakarta belajar banyak dari ajang ajang seperti Festival Lima Gunung atau Ngayogjazz. Wis wayahe, kebo nyusu gudel. (bwo)