Ternyata Ini Alasan Utama Mengapa Sholat Gerhana Bulan Dianjurkan untuk Dikerjakan
- Istimewa/istockphoto.com
Ibnu Hajar mengatakan, ”yang sesuai dengan ajaran nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan salat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu salat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4: 10)
Ilustrasi Gerhana Bulan Total
Kemudian, dilansir dari berbagai sumber, bahwa hukum sholat sunnah Gerhana Bulan terbilang sunnah muakkad (sangat dianjurkan mendekati wajib).
l-Hafizh berkata dalam Fat-hul Baari (II/527), “Pendapat Jumhur menyatakan bahwa ia adalah sunnah mu-akkadah. Abu ‘Awanah menyatakannya dalam kitab Shahiihnya sebagai perbuatan yang wajib. Dan saya tidak menjumpai pendapat seperti itu pada ulama selainnya. Hanya saja, apa yang diriwayatkan dari Malik bahwa beliau memperlakukannya sebagaimana shalat Jum’at. Dan az-Zain bin al-Munir menukil dari Abu Hanifah bahwa dia mewajibkannya. Begitupula beberapa pengarang kitab madzhab Hanafiyyah. Mereka menyatakannya sebagai hal yang wajib.”
Semua ulama sepakat bahwa Niat letaknya di hati, ucapan lidah bukanlah niat. Akan tetapi jika dilafazkan akan membantu mengingatkan hati dan mengusir perasaan waswas.
Hukum ini disepakati kalangan Mazhab Syafi'i. Dalam Mazhab Syafi'i, niat mesti beriringan dengan Takbiratul-Ihram.
- Niat sholat sunah Gerhana Bulan tersebut, sebagai berikut.
أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامً/مَأمُومًا لله تَعَالَى
Ushallî sunnatal khusûf rak‘ataini imâman/makmûman lillâhi ta‘âlâ
Artinya:
“Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam/makmum karena Allah SWT.”
Untuk membaca niat sebenarnya tempatnya di hati dan membulatkan hati dalam niat tersebut. Semenatara, ulama menganjurkan untuk melafalkannya. Hal ini disebutkan oleh Syekh Muhammad Nawawi Banten berikut ini:
ومحلها القلب والتلفظ بها سنة) ليعاون اللسان القلب)
Artinya:
“Tempat niat itu di hati. Pelafalan niat itu sendiri dianjurkan) agar suara lisan membantu pemantapan hati,” (Syekh Salim bin Sumeir, Safinatun Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa’ad Nabhan wa Auladuh,).
Load more