Namun, kata “nikah” di dalam bahasa Arab, menurut para ahli fiqih empat madzhab justru kata yang digunakan secara haqiqah (sebenarnya) untuk mengungkapkan makna akad, sedangkan digunakan secara majaz (kiasan) ketika mengungkapkan makna hubungan intim.
Hukum pernikahan, disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur'an, sunnah, dan ijma'. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman yang artinya,
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat." (Q.S. An Nisaa': 3)
Juga firman Allah SWT yang artinya, "Dan kawinkanIah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan." (Q.S An Nuur:32)
Pernikahan merupakan keinginan setiap insan. Bagi umat Muslim, pernikahan menjadi salah satu ibadah terpanjang dalam hidup, sebab menikah akan menyempurnakan separuh agama.
Meski menjadi ibadah yang menyempurnakan separuh agama, pernikahan dapat pula dikenai hukum haram karena beberapa hal. Dirangkum dari buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, berikut alasan diharamkannya menikah dalam Islam.
img: iStockPhoto/Nanang Solahudin
Kaum Muslimin melalui para ulama telah berijma (bersepakat) bahwa pernikahan merupakan hal yang disyariatkan.
Namun, menikah justru dapat menjadi haram hukumnya jika seseorang yakin dan paham akan menzalimi dan membahayakan istrinya/suami jika menikahinya, seperti dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, atau tidak bisa menghidupi istri dan anaknya kelak.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya mengatakan, jika terjadi benturan antara hal yang mewajibkan seseorang untuk menikah dan yang mengharamkan untuk melakukannya. Itu seperti ia yakin akan terjerumus ke dalam perzinaan seandainya tidak menikah dan sekaligus yakin bahwa ia akan menzalimi istrinya, maka pernikahannya adalah haram.
Hal itu berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, "Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya." (an Nuur: 33)
Rasulullah SAW juga dalam hadisnya menganjurkan seseorang yang belum mampu menikah agar berpuasa untuk menjaga diri dari timbulnya syahwat. Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (HR Bukhari-Muslim)
Jika dengan menikah justru akan menyengsarakan satu sama lain, maka menikah hukumnya menjadi haram. Untuk itu, pastikan untuk siap secara lahir dan batin sebelum naik ke pelaminan.
img: Freepik/Atlascompany
Pernikahan bertujuan diantaranya adalah untuk menjaga kesinambungan garis keturunan, menciptakan keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat. Selain itu, Pernikahan juga dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan.
Dalam buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” dijelaskan pula hukum pernikahan menurut para ahli fiqih yang bergantung pada keadaan setiap orang, yaitu sebagai berikut:
Fardhu/Wajib
Menurut kebanyakan para ulama fiqih, hukum pernikahan adalah wajib, jika seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinahan seandainya tidak menikah, sedangkan ia mampu untuk memberikan nafkah kepada istrinya berupa mahar dan nafkah batin serta hak-hak pernikahan lainnya.
Ia juga tidak mampu menjaga dirinya untuk terjatuh ke dalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan lainnya. Itu karena ia diwajibkan untuk menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan haram. Segala sesuatu yang merupakan sarana untuk kesempurnaan sebuah kewajiban maka ia hukumnya wajib pula. Caranya dengan menikah. Menurut jumhur ulama antara wajib dan fardhu tidak ada perbedaan.
Makruh
Pernikahan dimalauhkan jika seseorang khawatir terjatuh pada dosa dan mara bahaya. Kekhawatiran ini belum sampai derajat keyakinan jika ia menikah. Ia khawatir tidak mampu memberi nafkah, berbuat jelek kepada keluarga atau kehilangan keinginan kepada perempuan.
Dalam madzhab Hanafi, Makruh ada dua macam; makruh tahrimi (mendekati haram) dan tanzihi (mendekati halal) sesuai dengan kuat dan lemahnya kekhawatirannya. Sedangkan menurut para ulama syafi’i, menikah makruh hukumnya bagi orang yang memiliki kelemahan, seperti tua renta, penyakit abadi, kesusahan yang berkepanjangan, atau terkena gangguan jin.
Menurut mereka juga dimakruhkan menikahi perempuan yang telah dikhitbah orang lain dan diterima. Juga pernikahan muhallil, jika tidak mensyaratkan di dalam akad sesuatu yang dapat membatalkan maksudnya, pernikahan penipuan, seperti seorang suami menipu akan keislaman seorang perempuan, atau kemerdekaannya, atau dengan nasab tertentu. (Mzn)
Load more