tvOnenews.com - Safar adalah bulan kedua dalam sistem penanggalan Hijriyah. Penamaan bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini.
Safar memiliki arti “sepi” atau “sunyi” karena sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar.
Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena saat itu orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian, seperti yang ditulis oleh Ustaz Sunnatullah dalam laman NU Online, dikutip oleh tvOnenews, Selasa (23/8/2022).
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir yang wafat pada 774 Hijriah.
صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ
Artinya:
“Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).
Ilustrasi Perang di Zaman Rasulullah (U-Report)
Sementara Ibnu Manzhur (wafat 771 H) dalam buku Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460) menyampaikan alasan yang lebih banyak.
Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya:
1. Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir;
2. Orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar;
3. Pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab.
Namun, masyarakat Arab jahiliyyah tempo dulu, mempercayai Safar sebagai bulan penuh kesialan, kemalangan dan hal-hal buruk lainnya, seperti yang dikutip oleh tvOnenews dari MUI.
Orang Arab jaman dahulu percaya bahwa pada bulan tersebut, akan datang berbagai kemalangan yang dapat menimpa siapa saja. Bahkan, kepercayaan tersebut tetap ada sampai masa Rasulullah SAW.
Selain menganggap safar sebagai bulan sial, sebagian orang Arab jaman dulu bahkan juga ada yang mengartikan Safar sebagai sejenis penyakit dalam perut, berbentuk ulat besar yang mematikan.
Mengenai kepercayaan safar akan mendatangkan kesialan, H. A Zahri dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Akidah yang Benar” mengatakan bahwa kepercayaan Safar mendatangkan kesialan dapat disebut juga sebagai jenis khurafat atau mitos.
Dalam bahasa artinya cerita bohong dan secara istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan.
Kepercayaan tersebut bahkan telah dibantah langsung oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits Bukhari Muslim:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر
Artinya:
“Tidak ada kesialan karena ‘adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat),” (HR Bukhari).
Sedangkan Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya yang berjudul Ilmu Matan Hadis, menyitir Abu ‘Ubaid bahwa melalui hadits di atas, Rasulullah SAW sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyyah.
Menurutnya, keyakinan akan kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya yang disebabkan sesuatu di luar takdir Allah seperti karena pengaruh hama/wabah (‘adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti Safar bukanlah bagian dari ciri orang beriman.
Hal ini dikarenakan orang beriman akan memahami bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah kehendak Allah SWT.
Sementara dalam hadist Bukhari dan Muslim ditegaskan bahwa penularan penyakit tidak pernah ada yang terjadi tanpa izin Allah SWT.
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ
"Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa." (HR Bukhari dan Muslim)
Adwa sendiri berarti sebuah keyakinan tentang adanya wabah penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa sebuah proses sebelumnya dan tanpa seizin Allah.
Sementara Thiyarah adalah keyakinan tentang nasib baik dan buruk setelah melihat burung.
Pada jaman dahulu, ada mitos yang mengatakan, bila seorang keluar rumah dan menyaksikan burung terbang di sebelah kanannya, maka tanda nasib mujur bakal datang. Namun bila melihat burung terbang di sebelah kirinya maka tanda kesialan akan tiba sehingga sebaiknya pulang.
Ilustrasi Orang sedang Berdoa (dok tvOnenews)
Melalui sebuah syair, Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathâif al-Ma’ârif fîmâ li Mawâsim al-‘Am min al-Wadhâif berpesan :
كَمْ ذَا التَّمَادِي فَهَا قَدْ جَاءَنَا صَفَرُ ... شَهْرٌ بِهِ الْفَوْزُ وَالتَّوْفِيْقُ وَالظَّفَرُ
“Betapa banyak orang yang memiliki tuntutan, maka ini telah datang bulan Safar kepada kita. Bulan yang disertai dengan kemenangan, taufik, dan keberhasilan.”
فَابْدَأْ بِمَا شِئْتَ مِنْ فِعْلٍ تَسُرُّ بِهِ ... يَوْمَ الْمَعَادِ فَفِيْهِ الْخَيْرُ يَنْتَظِرُ
“Maka mulailah berbuat sesuatu yang akan membuatmu senang di hari kembali (hari kiamat), maka disana engkau akan melihat kebaikan.”
تُوْبُوا إِلَى اللهِ فِيْهِ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ ... مِنْ قَبْلُ يَبْلُغُ فِيْكُمْ حَدُّهُ الْعُمْرُ
“Bertaubatlah kepada Allah di bulan Safar dari dosa-dosa, sebelum batas akhir usia menghampiri pada kalian.”
Wallahualam
(put)
Load more