Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal? Ini Pandangan Ulama soal Toleransi dan Batasan Aqidah
- Freepik/teksomolika
tvOnenews.com - Menjelang perayaan Natal, pertanyaan tentang bolehkah umat Islam mengucapkan selamat Natal kembali ramai dibicarakan setiap tahun.
Sebagian umat menganggap ucapan tersebut sebagai bentuk toleransi antarumat beragama, sementara sebagian lainnya menilai hal itu berpotensi mencampuradukkan keyakinan.
Lantas bagaimana sebenarnya pandangan para ulama dalam menyikapi hal ini?
Salah satu ulama yang kerap menjelaskan persoalan ini adalah Buya Yahya.
Dalam tayangan di kanal YouTube Al-Bahjah TV, Buya Yahya memberikan penjelasan yang menyejukkan namun tetap tegas dalam menjaga batasan aqidah umat Islam.
Menurut Buya Yahya, toleransi dalam Islam tidak berarti harus ikut dalam urusan ibadah agama lain, termasuk dalam ucapan yang mengandung unsur keyakinan. Ia menegaskan bahwa makna toleransi sering kali disalahartikan.
“Toleransi itu bagaimana? Toleransi itu jangan paksa orang lain untuk mengikuti kamu. Itulah toleransi. Kita harus paham makna toleransi,” ujar Buya Yahya.
Beliau menjelaskan bahwa toleransi yang benar adalah saling menghormati tanpa memaksakan keyakinan satu sama lain.
Artinya, seorang muslim tidak boleh dipaksa untuk mengucapkan selamat Natal, sebagaimana umat Islam juga tidak seharusnya memaksa non-Muslim untuk ikut mengucapkan hari raya Idulfitri.
“Kalau Anda itu acara Hari Raya Idul Fitri, rame-rame, jangan paksa karyawan Anda yang Nasrani untuk mengucapkan Selamat Hari Raya atau memberikan bingkisan. Apalagi di sini kaum mayoritas, jangan paksa orang Islam mengucapkan selamat Natal. Kalau Anda memaksa, berarti tidak ngerti toleransi,” tegas Buya Yahya.
Buya Yahya juga mengingatkan bahwa ucapan “Selamat Natal” memiliki makna teologis yang sangat spesifik, yakni ucapan selamat atas kelahiran Yesus Kristus yang oleh umat Nasrani diyakini sebagai Tuhan atau anak Tuhan.
“Apa sih arti mengucapkan Selamat Natal? Selamat Natal adalah selamat atas kelahiran Yesus yang dianggap Tuhan menurut dia,” jelasnya.
Karena itulah, bagi umat Islam yang meyakini bahwa Nabi Isa AS adalah utusan Allah, bukan Tuhan, mengucapkan selamat atas kelahiran Tuhan versi agama lain dianggap bertentangan dengan aqidah Islam.
Namun, Buya Yahya menekankan agar perbedaan pandangan ini tidak dijadikan bahan permusuhan atau penghujatan.
Ia mencontohkan, bila ada seorang Nasrani yang berfatwa haram ikut mengucapkan selamat Maulid Nabi Muhammad SAW karena tidak sesuai dengan keyakinannya, maka umat Islam seharusnya menghormati hal itu.
“Kita hargai, memang itu bukan Nabi mu kok. Anda sah-sah. Di saat ada seorang muslim berfatwa saya haram mengucapkan selamat Natal. Ya jangan pusing, memang Nabi Isa bukan Tuhan saya kok,” katanya.
Buya Yahya menegaskan bahwa tidak perlu mempermasalahkan umat Islam yang memilih tidak mengucapkan selamat Natal, karena itu merupakan bentuk menjaga aqidah dan bukan berarti menolak toleransi.
Justru sebaliknya, ia mengingatkan agar masyarakat memahami bahwa toleransi sejati bukanlah mencampur keyakinan, tetapi saling menghormati perbedaan tersebut dengan penuh kebijaksanaan.
“Justru yang harus kita fahamkan makna toleransi, jangan dipaksa kaum minoritas Nasrani mengikuti aturan-aturanmu, yakni acara kebesaranmu, dan sebaliknya, jangan pula kaum Muslim dipaksa mengikuti hari raya agama lain,” ujar Buya Yahya menutup penjelasannya.
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa pandangan ulama seperti Buya Yahya berfokus pada pelestarian aqidah Islam tanpa mengurangi sikap hormat dan toleran terhadap pemeluk agama lain.
Seorang Muslim tetap dianjurkan menjaga hubungan baik, menghormati tetangga non-Muslim, serta tidak melakukan tindakan yang bisa menyinggung, selama tidak melanggar batas keyakinan agama. (adk)
Load more