tvOnenews.com - Jurnalis sekaligus presenter ternama, Najwa Shihab mempunyai kisah saat tinggal di Amerika Serikat (AS).
Sebagai sosok publik figur, Najwa Shihab tidak malu berbagi kisah saat menetap selama setahun di AS.
Kala itu, Najwa Shihab masih remaja menjalani pendidikan yang sangat luar biasa. Bahkan sampai mendapat beasiswa untuk belajar di negeri Paman Sam.
"Waktu saya remaja berumur 16 tahun, saya dapat beasiswa pertukaran pelajar," ungkap Najwa Shihab saat menghadiri acara Convey Day 2021 digelar Convey dan PPIM UIN Jakarta dikutip tvOnenews.com dari unggahan Instagram @najwashihab, Sabtu (4/1/2025).
Najwa Shihab mulanya menceritakan saat berada di AS selama setahun karena pertukaran pelajar harus tinggal bersama salah satu keluarga.
Keluarga itu kebetulan tinggal di salah satu kota kecil yang terletak di AS.
Najwa Shihab uniknya harus menjalani kehidupan di tengah keluarga yang menganut kepercayaan Katolik Roma di AS.
Nana sapaan akrabnya merasa sangat terkejut bahwasanya keluarga angkat tersebut kental dengan keyakinan Katolik Roma.
"Saya tinggal di sana selama setahun, tinggal bersama penganut Roma Katolik yang sangat taat setiap hari Minggu pasti ke gereja," tutur dia.
Nana akhirnya telah mengetahui dan turut merasakan sebagai kaum minoritas. Sebab, ia menganut kepercayaan agama Islam dan sangat sedikit umat Muslim di AS.
Namun demikian, Nana mendapat pelajaran berharga sebagai golongan minoritas agar bisa mengartikan betapa pentingnya hidup berdampingan.
"Orang yang tahu rasanya menjadi minoritas, mungkin berdasarkan pengalaman saya akan jauh lebih toleran, tahu rasanya lebih sedikit di antara yang banyak," terangnya.
Nana juga tidak malu mengungkapkan keluarga angkatnya telah memberikan pelajaran dan warna baru sebagai golongan minoritas.
"Dan keluarga angkat saya ketika itu luar biasa, saya belajar toleransi dari mereka," katanya.
Menurut Nana, pengalaman tinggal di tengah-tengah penganut kepercayaan Katolik sangat langka ditemukan olehnya di Indonesia.
Putri Quraish Shihab itu menyatakan tidak ada intimidasi yang diterima olehnya. Meskipun ibu dan keluarga angkat selama menetap di AS memegang kepercayaan Katolik Roma.
Ibu angkatnya pun kerap kali menemani Nana menjalani ibadah puasa selama di bulan Ramadhan.
Nana menjelaskan bahwa ibu angkatnya telah mengetahui sahur sebagai penguat tubuh saat beribadah puasa. Hal ini membuat keluarga itu menyiapkan hidangan kepada sang jurnalis.
Tak hanya sahur, ibu angkatnya juga tidak sungkan memberikan hidangan kepada Nana saat buka puasa.
Kebetulan lokasi masjid dari rumah tersebut membutuhkan jarak tempuh yang jauh dan harus keluar kota untuk bisa beribadah shalat Idul Fitri.
Jarak tempuh menuju masjid paling terdekat saat itu berada di New York City. Nana harus membutuhkan waktu selama tiga jam dari kota kecil, Brodlyn.
Bapak angkatnya pun suka rela mengantarkan Nana untuk ibadah shalat Idul Fitri di masjid. Apalagi, tidak memperdulikan jarak tempuhnya.
Selain itu, Nana juga pernah mendapat perlakuan seperti sedang diintimidasi saat di AS.
Nana kala itu tengah mengerjakan shalat di salah satu ruangan perpustakaan di AS.
Salah seorang tiba-tiba mengatakan kepada Nana setelah melaksanakan shalat dengan ucapan bak menyinggung terhadap Muslim.
Bahwasanya masyarakat di sana telah menanamkan perspektif seakan-akan orang Muslim atau penganut agama Islam layaknya dianggap melakukan tindakan sadis.
Mereka juga berspekulasi bahwa orang Muslim seperti teroris yang doyan memakan korban jiwa.
"Sebagai seorang Muslim, kamu sudah pernah membunuh berapa orang?," kata Nana sambil mengutip ucapan orang tersebut di ruangan perpustakaan AS.
Ia merasakan momen tersebut tidak hanya sebagai siswi yang menjalani proses pendidikan melalui pertukaran pelajar, tetapi juga telah menjadi wartawan.
Berbagai peristiwa menjadi momentum paling mengesankan bagi Nana, dimulai dari peperangan, penyerahan dan penggunaan senjata, bencana alam.
Kemudian, ia juga telah merasakan lahirnya negara baru hinggan konflik yang terjadi selama di AS.
Ia yang berstatus minoritas mempunyai keunggulan luar biasa mampu bergaul kepada siapa pun, dimulai dari tokoh ternama, presiden, politisi, teroris, koruptor, dan pihak-pihak lainnya.
Nana turut mengajak pengalaman sebagai minoritas sangat perlu dirasakan oleh semua orang. Hal ini bertujuan bisa belajar betapa pentingnya toleransi.
"Toleransi, sebuah kata yang seperti lalat, terdengar dengungnya, tapi tak selalu kita lihat wujudnya," jelasnya.
"Toleransi harus dialami dan diwujudkan tak sebatas diajarkan atau disosialisasikan. Salah satunya lewat pengalaman hidup menjadi minoritas," tandasnya.
Nana sangat mendukung toleransi sebagai pembekalan dalam diri yang kemungkinan ciri-ciri dimiliki oleh para inspirator dan para pemimpin hebat.
Mereka sukses tidak lepas dari bisa menghargai ucapan orang lain, tidak gegabah melakukan sesuatu, dan selalu memilah setiap pandangan tanpa melihat perbedaan untuk menyatukan berbagai pemikiran.
(hap)
Load more