Mertuanya justru berkata: “Klop”.
Kesederhanaan yang membuat sulit menyusun kiprah Gus Baha secara lebih lengkap. Sedikit infornasinya yang tersedia akan didaur-ulang dalam berbagai media termasuk dirujuk dalam artikel ini.
Di awal pembangunan pondasi dakwahnya, kiai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai tempatnya memulai pengembaraan ilmiahnya. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya. Kepindahan ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya.
Seperti yang ditulis di Alif.id, Gus Baha menyewa rumah yang tak jauh dari kediamannya. Ketika ayahnya wafat pada 2005, ia harus kembali ke Kragan, tetapi pengajiannya di Yogyakarta tetap berlangsung sebulan sekali. Para muhibbin Gus Baha dengan tekun mengikuti pengajian bulanan itu di Pesantren Izzati Nuril Qur’an Bedukan, Pleret, Bantul.
Ia juga mengampu pengajian tafsir di Bojonegoro. Atas permintaan Kiai Sahal Mahfudh, Gus Baha juga mengajar ushul fiqih di Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati.
Yogyakarta menyumbang kosmopolitanisme, berbagai disiplin ilmu semakin mengasah kepakarannya. Kadang ia diledek juga, “Kiai, Anda ini bacaannya luas kok tetap memilih NU?”. Gus Baha HANYA menjawabnya ringan: “Memangnya kalau saya tetap NU, jadi problem?”
Ia membentuk “Kajian Kematian” bersama para doktor dan profesor. Karena hidup di dunia yang sebentar saja dipersiapkan begitu serius, maka kehidupan akhirat yang jauh lebih lama, tentu harus dibahas dan dikaji lebih serius lagi.
Load more