Jakarta, tvOnenews.com-Sastrawan yang juga Guru Besar Bidang Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Jakarta Abdul Hadi Wiji Muthari meninggal dunia pada Jumat, pukul 03.36 WIB di RSPAD Gatot Subroto dalam usia 77 tahun.
Pada era 1970an, ketika pemberontakan seni merajalela, puisi Abdul Hadi mendominasi skena puisi saat itu, terutama setelah banyak diperkenalkan Sapardi di Majalah Horison dan Budaja Jaya. Kedekatan gaya estetik Goenawan, Sapardi dan Abdul Hadi sempat digugat sebagai jaringan epigonisme, terlalu intelektual dam kebarat-baratan oleh sejumlah penyair muda dari berbagai daerah: Darmanto Jatman (Seamarng), Umbu Landu Parangi (Yogyakarta), Sutardji Calzoum (Bandung).
Dengan dibentuknya Dewan Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki, saat itu kebaruan memang dirayakan hampir di semua cabang seni. Pertunjukan tari dari Sardono W Kusumo, pentas teater Putu Wijaya, cerpen ceren Danarto atau sajak sajak Sutardji jadi seni garda depan saat itu.
Namun, dari waktu ke waktu Abdul Hadi WM membuktikan 'kelasnya' sebagai penyair dan gaya persajakannya semakin kokoh dan matang.
Kritikus sastra terpandang A Teeuw menganalisa sajak Abdul Hadi, Ombak Itulah (1977), lalu dikumpulkan dalam buku Tergantung Pada Kata yang diterbitkan Pustaka Jaya. A Teeuw menyebut Abdul Hadi WM, puisinya upaya terus menerus untuk menghapuskan keseharian kata-kata, untuk merongrong kebiasan dan kewajaran makna kata-kata. "Sajak sajaknya bukan sesuatu sajak yang optimis," ujar A Teeuw.
Sebagai bekas mahasiswa filsafat, pengetahuan sastranya luas. ia dengan mudah menjelaskan teori teori Bergson dengan L'Evolution Creatricenya, tentang Coleridge, pemimpin aliran romantikdi Inggris pada permulaan abad ke-19. Ia fasih mengenal Taine, Saul Below, Camus, Dostojevsky, hingga penyair-penyair romantik Rusia. Ia karib dengan Rumi, Hamzah Fansuri hingga Syeh Siti Jenar.
"Seorang penyair modern dituntut intelektualitasnya, pengetahuannya yang luas, di samping ketrampilannya dalam bahasa. Dua jalan yang harus mereka tempuh sekaligus, kontemplasi dan aksi," ujar Abdul Hadi suatu kali.
Pergaulan kreatifnya ditempa di Taman ismail Marzuki. Ia pula konon yang menabalkan julukan Presiden Penyair untuk Sutardji Calzoum Bachri.
Dalam tulisan Bertemu Saya dan Syeh Siti Jenar, semacam proses kreatifnya dalam menulis sajak yang dibukukan oleh Dewan Kesenian Jakarta menjadi Dua Puluh Sastrawan Bicara, dengan lirih Abdul Hadi menggugat kenapa masih menulis puisi? Untuk siapa puisi puisinya ditulis? Masih adakah yang ingin membacanya? Bagaimana posisi puisinya di antara derap deru pembangunan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertarungan ideologi dan fanatisme agama agama?
Seperti yang khas dari penyair eranya yang memberontak untuk diringkus dalam proyek proyek kemajuan dan pembangunan, Abdul Hadi menyebut puisi puisinya adalah penolakan pada determinasi determinasi, perlawanan pada pandangan hitam putih atas kebenaran dan realitas.
"Puisi punya kebenarannya sendiri di luar kebenaran ilmu sosial dan sejarah lain, " ujar Abdul Hadi. Batu dalam sajak Sutardji bukan benda biasa, gerimis dalam sajak Chairil bukan gerimis hujan kecil dalam pengertian sebagai obyek insidental dan fiskal.
Minatnya pada mistisisme terlihat pada tulisan yang ditulis pada 1982. Ia banyak mengutip dialog dialog dalam lakon Syeh Siti Jenar yang saat itu masih berusaha dirampungkan: "Saudara saudara, hari sudah petang, Aku akan pulang dan kembali ke dalam diriku. Berkata kata sebenarnya adalah menyampaikan apa yang tak bisa disampaikan dan aku malu pada kata-kataku sendiri".
Ia menulis beberapa buku kumpulan puisi, di antaranya "At Least We Meet Again, Arjuna in Meditation" (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), "Laut Belum Pasang", "Meditasi", dan "Cermin". Sejumlah karya juga ia terjemahkan dari berbagai penulis sastra dunia, di antaranya karya-karya Jalaluddin Rumi. Puisi-puisi karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea, hingga Spanyol.
Abdul Hadi lahir di Sumenep, Madura, dan sempat mengenyam pendidikan sastra di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia melanjutkan pendidikan di program studi antropologi Universitas Padjajaran, Bandung.
Selama tahun 1973-1974, Abdul Hadi mengikuti program penulisan internasional di Universitas Iowa, Amerika Serikat, lalu di Hamburg, Jerman untuk mendalami sastra dan filsafat. Abdul Hadi meraih gelar master dan doktor filsafat dari Universitas Sains Malaysia di Penang, Malaysia, sekaligus menjadi dosen pada universitas tersebut. (bwo)
Load more