Jakarta, tvOnenews.com - Masjidil Aqsa adalah kompleks kuno yang disucikan oleh tiga agama.
Bagi umat Islam, Masjidil Aqsa adalah tempat suci ketiga.
Karena saat isra mi’raj, Nabi Muhammad SAW singgah di Masjidil Aqsa.
Salah satunya adalah Surah Al Isra ayat 1.
Berikut tafsir Surah Al Isra ayat 1 yang dilansir tvOnenews.com dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag).
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Subḥānal-lażī asrā bi‘abdihī lailam minal-masjidil ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣal-lażī bāraknā ḥaulahū linuriyahū min āyātinā, innahū huwas-samī‘ul-baṣīr(u).
Artinya:
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kompleks Masjidil Aqsa (Istimewa)
Pada akhir Surah an-Nahl mengandung pesan kepada Nabi Muhammad agar bersabar dan tidak bersedih hati disebabkan tipu daya dan penolakan orang-orang yang menentang dakwahnya.
Di saat beliau mengalami kesulitan menghadapi orang-orang kafir yang menolak dakwahnya, ayat pertama dari surah ini menyatakan bahwa beliau mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah, di mana Allah memperjalankannya dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa dan memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan dan kebesaranNya.
Ayat pertama ini menyatakan, Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya, yakni Nabi Muhammad, pada malam hari dari Masjidil haram, yang berada di Mekah ke Masjidil Aqsa, yang berada di Palestina, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, dengan tanahnya yang subur yang menghasilkan aneka tanaman dan buah-buahan serta menjadi tempat turunnya para nabi, agar kami perlihatkan kepadanya dengan mata kepala atau mata hati sebagian dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Kami.
Sesungguhnya Dia, yaitu Allah adalah Maha Mendengar perkataan hamba-Nya, Maha Mengetahui tingkah laku dan perbuatannya.
Kompleks Masjidil Aqsa (freepik)
Allah SWT menyatakan kemahasucian-Nya dengan firman “subḥāna”, agar manusia mengakui kesucian-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak dan meyakini sifat-sifat keagungan-Nya yang tiada tara.
Ungkapan itu juga sebagai pernyataan tentang sifat kebesaran-Nya yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dengan perjalanan yang sangat cepat.
Allah swt memulai firman-Nya dengan subḥāna dalam ayat ini, dan di beberapa ayat yang lain, sebagai pertanda bahwa ayat itu mengandung peristiwa luar biasa yang hanya dapat terlaksana karena iradah dan kekuasaan-Nya.
Dari kata asrā’ dapat dipahami bahwa Isrā’ Nabi Muhammad saw terjadi di waktu malam hari, karena kata asrā dalam bahasa Arab berarti perjalanan di malam hari.
Penyebutan lailan, dengan bentuk isim nakirah, yang berarti “malam hari”, adalah untuk menggambarkan bahwa kejadian Isrā’ itu mengambil waktu malam yang singkat dan juga untuk menguatkan pengertian bahwa peristiwa Isrā’ itu memang benar-benar terjadi di malam hari.
Allah swt meng-isrā’-kan hamba-Nya di malam hari, karena waktu itulah yang paling utama bagi para hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan waktu yang paling baik untuk beribadah kepada-Nya.
Perkataan ‘abdihi (hamba-Nya) dalam ayat ini maksudnya ialah Nabi Muhammad saw yang telah terpilih sebagai nabi yang terakhir.
Beliau telah mendapat perintah untuk melakukan perjalanan malam, sebagai penghormatan kepadanya.
Kompleks Masjidil Aqsa (pixabay/krysrianwin)
Dalam ayat ini tidak diterangkan waktunya secara pasti, baik waktu keberangkatan maupun kepulangan Nabi Muhammad saw kembali ke tempat tinggalnya di Mekah.
Hanya saja yang diterangkan bahwa Isrā’ Nabi Muhammad saw dimulai dari Masjidil haram, yaitu masjid yang terkenal karena Ka’bah (Baitullah) terletak di dalamnya, menuju Masjidil Aqsa yang berada di Baitul Maqdis.
Masjid itu disebut Masjidil Aqsa yang berarti “terjauh”, karena letaknya jauh dari kota Mekah.
Selanjutnya Allah swt menjelaskan bahwa Masjidil Aqsa dan daerah-daerah sekitarnya mendapat berkah Allah karena menjadi tempat turun wahyu kepada para nabi. Tanahnya disuburkan, sehingga menjadi daerah yang makmur.
Di samping itu, masjid tersebut termasuk di antara masjid yang menjadi tempat peribadatan para nabi dan tempat tinggal mereka.
Sesudah itu, Allah menyebutkan alasan mengapa Nabi Muhammad saw diperjalankan pada malam hari, yaitu untuk memperlihatkan kepada Nabi tanda-tanda kebesaran-Nya.
Tanda-tanda itu disaksikan oleh Muhammad saw dalam perjalanannya dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa, berupa pengalaman-pengalaman yang berharga, ketabahan hati dalam menghadapi berbagai macam cobaan, dan betapa luasnya jagat raya serta alangkah Agungnya Allah Maha Pencipta. Pengalaman-pengalaman baru yang disaksikan Nabi Muhammad sangat berguna untuk memantapkan hati beliau menghadapi berbagai macam rintangan dari kaumnya, dan meyakini kebenaran wahyu Allah, baik yang telah diterima maupun yang akan diterimanya.
Di akhir ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia Maha Mendengar bisikan batin para hamba-Nya dan Maha Melihat semua perbuatan mereka.
Kompleks Masjidil Aqsa (pixabay)
Tak ada detak jantung, ataupun gerakan tubuh dari seluruh makhluk yang ada di antara langit dan bumi ini yang lepas dari pengamatan-Nya.
Ayat ini menyebutkan terjadinya peristiwa Isrā’, yaitu perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa di waktu malam. Sedangkan peristiwa Mi’raj, yaitu naiknya Nabi Muhammad dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha (Mustawa) tidak diisyaratkan oleh ayat ini, tetapi diisyaratkan dalam Surah an-Najm.
Hampir seluruh ahli tafsir berpendapat bahwa peristiwa Isrā’ terjadi setelah Nabi Muhammad diutus menjadi rasul.
Peristiwanya terjadi satu tahun sebelum hijrah.
Demikian menurut Imam az-Zuhrī, Ibnu Sa’ad, dan lain-lainnya. Imam Nawawi pun memastikan demikian. Bahkan menurut Ibnu Ḥazm, peristiwa Isrā’ itu terjadi di bulan Rajab tahun kedua belas setelah pengangkatan Muhammad menjadi nabi. Sedangkan al-Ḥāfiẓ ‘Abdul Gani al-Maqdisī memilih pendapat yang mengatakan bahwa Isrā’ dan Mi’raj tersebut terjadi pada 27 Rajab, dengan alasan pada waktu itulah masyarakat melaksanakannya.
Adapun hadis-hadis yang menjelaskan terjadinya Isrā’ itu sebagai berikut:
Pertama:
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: لَيْلَةَ اُسْرِيَ بِرَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ أَنَّهُ جَاءَهَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوْحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ: أَيُّهُمْ هُوَ؟ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ: هُوَ خَيْرُهُمْ. فَقَالَ آخِرُهُمْ: خُذُوْا خَيْرَهُمْ، فَكَانَتْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى أَتَوْهُ لَيْلَةً أُخْرَى فِيْمَا يَرَى قَلْبُهُ وَتَنَامُ عَيْنُهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذٰلِكَ اْلأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُمْ- فَلَمْ يُكَلِّمُوْهُ حَتَّى احْتَمَلُوْا فَوَضَعُوْهُ عِنْدَ بِئْرِ زَمْزَمَ فَتَوَلَاهُ مِنْهُمْ جِبْرِيْلُ فَشَقَّ جِبْرِيْلُ مَا بَيْنَ نَحْرِهِ إِلَى لِبَّتِهِ حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَدْرِهِ وَجَوْفِهِ فَغَسَلَهُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ بِيَدِهِ حَتَّى أَنْقَى جَوْفَهُ ثُمَّ أَتَى بِطَشْتٍ مِنْ ذَهَبٍ فِيْهِ نُوْرٌ مِنْ ذَهَبٍ مَحْشُوٍّ إِيْمَانًا وَحِكْمَةً فَحَشَابِهِ صَدْرَهُ وَلَغَادِيْدَهُ يَعْنِى عُرُوْقَ حَلْقِهِ ثُمَّ اَطْبَقَهُ. (رواه البخاري)
Anas bin Malik menuturkan bahwa pada malam diperjalankannya Rasulullah saw dari Masjidil haram, datanglah kepadanya tiga orang pada saat sebelum turunnya wahyu, sedangkan Rasul pada waktu itu sedang tidur di Masjidil haram. Kemudian berkatalah orang yang pertama, “Siapakah dia ini?”
Kemudian orang kedua menjawab, “Dia adalah orang yang terbaik di antara mereka (kaumnya).”
Setelah itu berkatalah orang ketiga, “Ambillah orang yang terbaik itu.”
Pada malam itu Nabi tidak mengetahui siapa mereka, sehingga mereka datang kepada Nabi di malam yang lain dalam keadaan matanya tidur sedangkan hatinya tidak tidur.
Demikianlah para nabi, meskipun mata mereka terpejam, namun hati mereka tidaklah tidur. Sesudah itu rombongan tadi tidak berbicara sedikitpun kepada Nabi hingga mereka membawa Nabi dan meletakkannya di sekitar sumur Zamzam.
Di antara mereka ada Jibril yang menguasai diri Nabi, lalu Jibril membelah bagian tubuh, antara leher sampai ke hatinya, sehingga kosonglah dadanya.
Sesudah itu Jibril mencuci hati Nabi dengan air Zamzam dengan menggunakan tangannya, sehingga bersihlah hati beliau.
Kemudian Jibril membawa bejana dari emas yang berisi iman dan hikmah.
Kemudian dituangkanlah isi bejana itu memenuhi dada beliau dan urat-urat tenggorokannya lalu ditutupnya kembali. (Riwayat al-Bukhārī)
Kedua:
اِذْ أَتَانِي آتٍ فَقَدَّ فَاسْتَخْرَجَ قَلْبِي، ثُمَّ أُتِيْتُ بِطَشْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مَمْلُوْءَةٍ إِيْمَانًا، فَغَسَلَ قَلْبِي ثُمَّ حُشِيَ (أُعِيْدَ) (رواه البخاري عن صعصعة)
Bahwa Nabi saw bersabda, “Tiba-tiba datang kepadaku seseorang (Jibril). Kemudian ia membedah dan mengeluarkan hatiku. Setelah itu dibawalah kepadaku bejana yang terbuat dari emas yang penuh dengan iman, lalu ia mencuci hatiku. Setelah itu menuangkan isi bejana itu kepadaku. Kemudian hatiku dikembalikannya seperti sediakala”. (Riwayat al-Bukhārī dari Sa’ṣa’ah)
Ketiga:
أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُتِيْتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُوْنَ الْبِغَالِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ فَرَكِبْتُهُ فَسَارَ بِي حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَرَبَطْتُ الدَّابَّةَ بِالْحَلْقَةِ الَّتِى يَرْبِطُ فِيْهَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ دَخَلْتُ فَصَلَّيْتُ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَأَتَانِى جِبْرِيْلُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيْلُ أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ. (رواه أحمد عن أنس بن ملك)
Bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Didatangkan kepadaku Buraq, yaitu binatang putih lebih besar dari himār, dan lebih kecil dari bigāl. Ia melangkahkan kakinya sejauh pandangan mata. Kemudian saya mengendarainya, lalu ia membawaku sehingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian saya mengikatnya pada tempat para nabi mengikatkan kendaraannya.
Kemudian saya shalat dua rakaat di dalamnya, lalu saya keluar. Kemudian Jibril membawa kepadaku sebuah bejana yang berisi minuman keras (khamar) dan sebuah lagi berisi susu; lalu saya pilih yang berisi susu, lantas Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah sebagai pilihan yang benar.” (Riwayat Aḥmad dari Anas bin Mālik)
Dari hadits-hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad diperjalankan pada malam hari dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa atas izin Allah di bawah bimbingan malaikat Jibril.
Sebelum Nabi Muhammad saw diperjalankan pada malam itu, hatinya diisi iman dan hikmah, agar beliau tahan menghadapi segala macam cobaan dan tabah dalam melaksanakan perintah-Nya.
Perjalanan itu dilakukan dengan mengendarai Buraq yang mempunyai kecepatan luar biasa sehingga Isrā’ dan Mi’raj hanya memerlukan waktu kurang dari satu malam.
Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara terperinci, apakah Nabi saw Isrā’ dengan roh dan jasadnya, ataukah rohnya saja. Itulah sebabnya para mufasir berbeda pendapat mengenai hal tersebut.
Kompleks Masjidil Aqsa (ANTARA)
Mayoritas mereka berpendapat bahwa Isrā’ dilakukan dengan roh dan jasad dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur. Mereka itu mengajukan beberapa alasan untuk menguatkan pendapatnya di antaranya:
a. Kata subḥāna menunjukkan adanya peristiwa yang hebat. Jika Nabi di-isrā’-kan dalam keadaan tidur, tidak perlu diungkapkan dengan menggunakan ayat yang didahului dengan tasbih.
b. Andaikata Isrā’ itu dilakukan dalam keadaan tidur, tentulah orang Quraisy tidak dengan serta merta mendustakannya. Banyaknya orang muslim yang murtad kembali karena peristiwa Isrā’ menunjukkan bahwa peristiwa itu bukanlah hal yang biasa. Kata-kata Ummu Hani’ yang melarang Nabi menceritakan kepada siapapun pengalaman-pengalaman yang dialami ketika Isrā’ agar mereka tidak menganggap Nabi saw berdusta, juga menguatkan bahwa Isrā’ itu dilakukan Nabi dengan roh dan jasadnya. Peristiwa ini yang menyebabkan Abu Bakar diberi gelar as-Ṣiddīq karena dia membenarkan Nabi, dengan cepat dan tanpa ragu, ber-Isrā’ dengan roh dan jasadnya, sedangkan orang-orang lain berat menerimanya.
c. Firman Allah yang menggunakan bi’abdihi menunjukkan bahwa Nabi Isrā’ dengan roh dan jasad karena kata seorang hamba mengacu pada kesatuan jasad dan roh.
Perkataan Ibnu ‘Abbās bahwa orang-orang Arab menggunakan kata ru’ya dalam arti penglihatan mata, maka kata ru’ya yang tersebut dalam firman Allah berikut ini mesti dipahami sebagai penglihatan dengan mata.
وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ
Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia. (al-Isrā’/17: 60)
e. Yang diperlihatkan kepada Nabi waktu Isrā’ dan Mi’rāj adalah penglihatan mata yang mungkin terjadi karena kecepatan yang serupa telah dibuktikan oleh manusia dengan teknologi modern.
Beberapa mufassir yang lain berpendapat bahwa Isrā’ dilakukan Nabi dengan rohnya saja.
Mereka ini menguatkan pendapatnya dengan perkataan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ketika ditanya tentang Isrā’ Nabi Muhammad saw, beliau menjawab:
كَانَ رُؤْيَا مِنَ اللّٰهِ صَادِقَةً...
Isrā’ Nabi itu adalah mimpi yang benar yang datangnya dari Allah.
Pendapat yang mengatakan bahwa Isrā’ hanya dilakukan dengan roh saja lemah, karena sanad hadis yang dijadikan hujjah atau pegangan tidak jelas.
Itulah penjelasan mengenai tafsir Surah Al Isra ayat 1 tentang Masjidil Aqsa.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Disarankan bertanya langsung kepada Ulama, Pendakwah atau Ahli Agama Islam agar mendapatkan pemahaman yang mendalam.
Wallahua’lam
Load more