Musik atau Lagu yang Mirip Bukan Plagiat? Ini Rahasianya di Balik Algoritma dan Interpolasi Lagu yang Bikin Telinga Tertipu!
- Istockphoto
tvOnenews.com - Pernahkah kamu mendengar musik atau lagu baru yang terdengar familiar, seolah pernah mendengarnya di masa lalu? Fenomena ini kini tak lagi sekadar kebetulan atau tudingan plagiat, melainkan hasil dari teknik kreatif yang dikenal sebagai interpolasi lagu, strategi musikal yang kian populer di era algoritma musik digital.
Di tengah industri yang dikendalikan oleh mesin rekomendasi dan AI, banyak musisi justru memanfaatkan kemiripan nada untuk membangun koneksi emosional dengan pendengar. Algoritma kini tak hanya memprediksi selera musik, tapi juga memengaruhi cara lagu diciptakan agar terdengar “akrab” sejak detik pertama.
Melansir dari berbagai sumber, teknik interpolasi menjadi jembatan antara nostalgia dan inovasi. Berbeda dengan sampling yang memotong langsung rekaman lama, interpolasi adalah proses menciptakan ulang bagian lagu, entah melodi, lirik, atau harmoni, dengan aransemen baru.
Artinya, musisi tidak mencuri karya, melainkan memberi napas baru pada lagu lama yang pernah populer. Dalam sejarah musik global, banyak kasus kemiripan lagu justru lahir dari teknik ini.
Adele, misalnya, pernah dituduh meniru lagu “Mulheres” karya Toninho Geraes lewat “Million Years Ago”, padahal ia hanya mengadaptasi nuansa serupa. Sementara Lisa BLACKPINK secara terbuka menggunakan interpolasi dari “Pon de Replay” milik Rihanna dalam “Pink Venom”, yang kemudian menjadi topik hangat di kalangan penggemar.
Di Indonesia, fenomena ini juga mencuat lewat kasus Bernadya yang sempat dibandingkan dengan Taylor Swift karena lagu “Sialan” terdengar mirip “August”. Padahal, menurut banyak pengamat, kemiripan itu bukan indikasi plagiarisme, melainkan bentuk eksplorasi nada yang serupa, seperti halnya interpolasi.
Menurut Dimas Ario, kurator musik, “Interpolasi berbeda dengan sampling. Kalau sampling menggunakan rekaman asli, interpolasi itu membuat ulang karyanya dengan versi baru setelah mendapat lisensi dari pencipta. Ini bukan sekadar potong-tempel, tapi bentuk kreativitas yang legal.”
Dimas menekankan bahwa interpolasi adalah bentuk penghormatan terhadap karya lama sekaligus cara memperkenalkan kembali lagu klasik ke generasi baru. Pandangan ini juga disetujui oleh Dzulfikri Putra Malawi, pendiri Wara Musika, yang menilai interpolasi bagian dari strategi bisnis label musik.
“Kalau sample pakai master rekaman, lisensinya diurus ke label. Tapi kalau interpolasi, itu langsung ke pencipta atau publisher lagu tersebut,” ujarnya. Artinya, interpolasi bukan pelanggaran, justru bentuk kolaborasi lintas generasi yang memperpanjang usia sebuah karya.
Salah satu musisi yang membuktikan hal ini adalah Whisnu Santika, DJ dan produser musik elektronik Indonesia. Ia kerap mengeksplorasi interpolasi dalam lagu-lagunya seperti Sahara, Mambo Jambo, Tequilla, hingga Yummy.
Single terbarunya, Yalla Habibi, sempat menuai kontroversi karena dianggap mirip dengan Iag Bari Yababa milik ARKADYAN dan Fanfare Ciocărlia. Namun Whisnu menegaskan bahwa lagunya adalah hasil eksperimen legal berbasis interpolasi.
- Instagram Whisnu Santika
“Saya memang mengadopsi elemen dari ‘Iag Bari Yababa’, tapi bukan untuk menjiplak. Justru saya ingin merayakan musik world dengan sentuhan Indobounce yang jadi identitas saya,” ungkapnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa interpolasi bukan sekadar trik musikal, tapi bentuk komunikasi lintas budaya dan waktu.
Di tengah derasnya arus musik digital, di mana algoritma memunculkan lagu-lagu serupa demi memenuhi selera pasar, interpolasi justru mengajarkan publik untuk lebih bijak memahami batas antara inspirasi dan penjiplakan.
Musik, pada dasarnya, adalah ekosistem yang saling berhubungan berevolusi dari yang lama menjadi sesuatu yang baru tanpa kehilangan jejak asalnya. Maka sebelum menuduh lagu mirip sebagai plagiat, mungkin kita perlu mendengarnya lagi dengan telinga yang lebih terbuka. (udn)
Load more