Oleh: Dzulfikri Putra Malawi
Tulisan ini bukan untuk menceritakan sejarah atau lini masa Lokananta dari waktu ke waktu. Kamu bisa lebih paham jika mau bergerak ke Solo, tepatnya di seberang hotel Sunan, dan mampir di ruang lini masa Lokananta.
Hampir satu dekade yang lalu, seorang kawan, Syaura namanya dari Jogja ngebel, mengajak untuk menulis buku bersama. Rupanya dia baca tulisan saya di koran Media Indonesia tentang liputan Lokananta tahun 2015.
Di dalam tim, ada juga seorang kontributor majalah Rolling Stone Indonesia, Fakhri Zakaria yang membuat tulisan mendalam soal Lokananta tahun 2010.
Kami bertiga sama-sama dipantik oleh keresahan serupa. Menyayangkan aset musik yang berharga sebagai identitas bangsa terlantar.
Bahkan saat itu hanya ada 1 literatur yang tersedia soal Lokananta, itu pun orang luar negeri yang menulis, namanya Philip Yampolsky. Itu pun merupakan tulisan disertasi.
Oleh sebab itu, tanpa ragu-ragu kami memetakan distribusi bukunya untuk perpustakaan sekolahan. Sisanya disebar ke tongkrongan.
Saat kami menggarap project buku ini, Lokananta masih dinahkodai Miftah Zubir. Direktur muda dari kalangan profesional. Ya, dia jebolan IKJ yang diamanahkan untuk bisa menggarap aset negara yang berada di sana.
Dari dirinya, saya dapat banyak akses informasi tentang kondisi saat itu di Lokananta. Tentang keinginannya yang visioner mengkapitalisasi aset-aset karya yang berharga di sana sembari mengurusi hak-hak para ahli waris pemilik karya. Maksudnya sangat jelas, karena ini bukan lembaga nirlaba.
Rentang waktu 1950-1955, saat menjabat sebagai Direktur Jenderal RRI, Maladi resah dengan dominasi lagu-lagu Barat di siaran RRI. Kebutuhan suplai piringan hitam lagu-lagu dalam negeri semakin mendesak guna memenuhi kebutuhan siaran yang masih bergantung negara lain.
Bersama Raden Oetojo Soemowidjojo sebagai Kepala Studio RRI Surakarta dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero selaku Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta, ide pabrik piringan hitam mulai terwujud.
Senin Pahing, 29 Oktober 1956, pukul 10 pagi, “Pabrik Piringan Hitam Lokananta Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Surakarta” berdiri di Kerten, Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta menjadikan Indonesia sebagai negara kelima di dunia yang memiliki pabrik piringan hitam pada saat itu.
Penggandaan lagu-lagu daerah dari 49 stasiun RRI di seluruh Indonesia menjadi tugas awal Lokananta. Saat awal beroperasi, Lokananta hanya dijalankan oleh lima orang pegawai yang diperbantukan dari RRI Surakarta termasuk Oetojo yang merangkap sebagai Direktur Lokananta dan Soegoto sebagai Kepala Teknis Produksi.
Sebelum Lokananta, sudah ada perusahaan rekaman di Indonesia yang lebih dulu eksis. Antara lain Mesra dan Remaco. Namun Lokananta adalah perusahaan rekaman pertama di Indonesia saat itu yang memiliki mesin produksi master moulding atau pembuat cetakan untuk piringan hitam. Mesin ini menjadi titik tolak perkembangan industri rekaman di Indonesia.
Kebutuhan memproduksi konten lokal semakin mendesak setelah larangan musik "ngak ngik ngok" oleh Soekarno muncul di Manipol 1959.
Ia gerak cepat, seluruh pengurus stasiun RRI dari Sabang-Merauke diberikan arahan untuk menyetor lagu-lagu daerah mereka untuk kemudian direkam lalu digandakan piringan hitamnya di Lokananta untuk kemudian didistribusikan kembali ke RRI seluruh Indonesia.
Apa mungkin karena kisah sukses bersama Lokananta ini Maladi melesat di karier politiknya sebagai menteri penerangan dan menteri pemuda dan olahraga era Seokarno?
Sebuah kotak besi pengantar piringan hitam masih bisa kamu nikmati bersama beberapa benda peninggalan pabrik piring hitam lainnya juga ditata apik di sana, di galeri Lokananta, yang segera akan menjadi museum.
Ada studio rekaman berukuran besar yang pada masa itu banyak mencetak karya-karya maestro gamelan hingga musik populer saat itu masih dioperasikan. Dipertahankan peruntukannya untuk memproduksi musik.
Di dalam studio itu, ada mixer analog Trident, London series 80 B yang hanya ada dua di dunia. Satu lagi berada di BBC London.
Galeri studio Lokananta. (Dok.Fakhri Zakaria)
Bing Slamet, Sam Saimun, Gesang, Waldjinah, Buby Chen, Titiek Puspa, Aneka Nada, hingga Glenn Fredly, White Shoes and The Couoples Company, dan Pandai Besi sudah menjajalnya.
Lokananta kini wajahnya berubah lebih kekinian. Namun bangunan utama tetap dipertahankan. Hanya kolam air mancur bergaya klasik yang dulu juga dipakai untuk mencuci piringan hitam dari bahan kimia, tergantikan oleh kolam air overflow sebagai penanda zaman menjadi Lokananta Baru.
Andra Matin lah yang memetakan tata ruang bangunan dan estetikanya di bawah komando BUMN Danareksa dan PPA (Perusahaan Pengelola Aset). Sementara operator M Bloc Group yang memiliki hak pengelolaan 1 dekade ke depan.
Berkumpul dan Bersimpul
Wendi Putranto, mantan jurnalis Rolling Stone Indonesia mengirim pesan teks kepada saya akhir Mei lalu. Kabar baik merangsek dalam pesan singkat tersebut.
Saya yang tidak mengikuti perkembangan Lokananta pasca forum diskusi dengan PNRI dan stakeholder musik beberapa tahun lalu di Jakarta cukup gembira menyambut ajakan Wendi untuk berkunjung ke titik nol musik Indonesia, Lokananta. Pelabelan dan jargon memang sangat diminati oleh bangsa ini. "Pengakuan" masih dianggap senjata paling ampuh untuk urusan promo dan marketing di sini.
Saya dan teman-teman dalam forum diskusi saat itu sangat merasa khawatir. Sebab hanya sektor pariwisata dan ekonomi yang terus menerus dibahas. Ide untuk menjadi mall, hotel dan pusat kuliner lebih menyeruak. Lagi-lagi, musik hanya dijadikan elemen hiburan semata. Gawat!
Wendi jadi salah satu orang yang mengikuti lika-liku dan drama Lokananta era ini bersama Glenn Fredly saat program Sahabat Lokananta digagas. Termasuk di forum diskusi tersebut.
Sudah selayaknya, ia sebagai CEO yang ditunjuk M Bloc Group lewat PT Ruang Riang Lokananta lebih paham bagaimana melanjutkan dan mewujudkan cita-cita stakeholder Lokananta sebelumnya.
Lokananta Festival 2023 pun digelar 2 hari sebagai magnet untuk bisa mengenal lebih dekat Lokananta Baru. Acara yang digelar 3-4 Juni ini menampilkan sederet musisi tanah air.
Festival Lokananta 2023. (Dok.Fakhri Zakaria)
Masyarakat langsung diajak berhadapan dengan pengalaman baru di Lokananta. Mulai dari dua panggung besar di area outdoor. The Adams, Pamungkas, The Changcuters, D'Masiv, David Bayu, dan masih banyak penampil lainnya unjuk kebolehan di sana.
Sementara ada juga sesi live di dalam studio rekaman Lokananta. Menikmati lantunan suara merdu Andien, Fariz RM, Vina Panduwinata, Fajar Merah, Frau, dan KLA Project jadi pilihan yang sangat tepat.
"Sama-sama, bro. Tetap diawasi dan kritisi aja perjalanan baru Lokananta ke depannya. Selain dari para tetangga belakang Lokananta, perlu juga dari elo dan temen2 yang laen nih haha.." balas Wendi lewat teks setelah saya pamit ke Jakarta sekaligus mendukung dan mengapresiasi langkah barunya di Lokananta.
Rupanya Wendi dejavu dengan urusan izin tetangga saat Rolling Stone Indonesia juga aktif menyelenggarakan panggung musik di Jakarta. Semoga saja tak jadi soal kalau di Solo.
Lewat Lokananta kini, kita akan menikmati galeri/museum, studio rekaman, arena pertunjukan musik dan seni, area kuliner, dan galeri UMKM.
Lewat Lokananta kini, kita bisa memahami, sebuah gagasan marketing dan distribusi efektif, efisien, dan impactful yang banyak disukai para praktisi digital marketing saat ini ternyata sudah dilakukan Raden Maladi di Lokananta, wabilkhusus terhadap aset lagu daerah di Asian Games 1962.
Lewat Lokananta kini, pertemuan Titiek Puspa dan Waldjinah terjadi setelah puluhan tahun lamanya. Kita juga bisa menikmati karya dan kisah yang terangkum di galeri Lokananta berkat campur tangan dari Adi Cumi, cucu R. Maladi yang juga vokalks Fable.
Lewat Lokananta kini, semua "aktivis" musik Indonesia muncul, berkumpul dan bersimpul. Ada energi baru yang bisa terus dipacu. Ada banyak obrolan "ngalor-ngidul" yang bisa akan menjadi sesuatu, kelak di Lokananta. Semangat yang militan menyeruak. Khas dan sering kita temui di berbagai simpul-simpul komunitas musik.
Mereka semua yang hadir seakan bersepakat untuk beriringan bersama Lokananta Baru. Semoga hal baik terus melimpah di titik nol musik Indonesia.
Load more