Bunda Suka 'Berisik' Saat Sedang Berhubungan Intim Agar Paksu Lebih Bergairah? Inez Kristanti: Kebanyakan Pura-pura....
- Istockphoto
tvOnenews.com - Fenomena wanita yang mengeluarkan suara saat berhubungan intim, seperti desahan, erangan, bahkan teriakan atau umpatan, bukan hal yang asing di ranjang.
Namun, mengapa sebagian besar perempuan cenderung ‘berisik’ dalam momen intim tersebut? Psikolog klinis Inez Kristanti membahasnya secara terbuka melalui akun Instagram resminya, @inezkristanti.
Ia menjelaskan bahwa perilaku ini bukan sekadar kebiasaan tanpa makna, melainkan bagian dari dinamika psikologis yang cukup kompleks dalam hubungan seksual.
Inez menyebut istilah khusus dalam dunia psikologi seksual untuk perilaku ini, yakni coital vocalizations atau vokalisasi seksual.
“Coital vocalizations adalah suara yang secara sadar atau tidak dikeluarkan saat berhubungan seks, baik berupa moaning (desahan), groaning (erangan), bahkan teriakan,” jelasnya.
Perilaku ini bisa memiliki berbagai tujuan, mulai dari membangun suasana hati (mood), memperkuat kenikmatan seksual, memberi dorongan emosional pada pasangan, hingga menjadi sinyal bahwa seseorang merasa tidak nyaman.
Menurut Inez, suara-suara tersebut kerap dianggap sebagai bagian alami dari pengalaman seksual yang mendalam.
- Istockphoto
“Suara-suara waktu having seks itu emang bermanfaat buat mereka jadi lebih mood dan lebih menghayati gitu,” ujarnya.
Vokalisasi ini, lanjutnya, juga dapat meningkatkan gairah dan kepercayaan diri pasangan, terutama jika suara itu memberi kesan bahwa hubungan yang sedang berlangsung menyenangkan.
Namun, penting untuk tidak salah kaprah. Bersuara saat berhubungan intim belum tentu menjadi indikator bahwa seorang wanita mencapai orgasme.
“Kebanyakan cewek tuh orgasme pas foreplay, tapi lebih berisik justru pas intercourse,” ujar Inez. Ini berarti bahwa intensitas suara tidak selalu linier dengan puncak kenikmatan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, suara-suara tersebut bisa muncul sebagai bentuk ekspresi atas ketidaknyamanan atau rasa sakit yang dirasakan wanita.
Inez menegaskan, “Ada juga yang merintih dan teriak karena kesakitan. Nah tolong ditanya pasangannya apakah memang nyaman.”
Jika suara yang dikeluarkan justru mengindikasikan rasa sakit atau ketidaknyamanan, pasangan seharusnya peka dan tidak memaksakan hubungan seksual untuk terus berlanjut.
- instagram @inezkristanti
Ia mengingatkan, “Kalau gak nyaman plis jangan dipaksa. Cewek-cewek juga plis ngomong kalo sakit jangan memaksakan diri, supaya bisa dicari solusinya sama-sama.”
Secara psikologis, vokalisasi dalam hubungan seksual berfungsi sebagai salah satu bentuk komunikasi non-verbal.
Dalam teori psikologi klinis, vokalisasi ini bisa memperkuat koneksi emosional dan fisik antara pasangan.
Selain itu, suara-suara ini juga dapat memengaruhi sistem limbik otak, yang berperan dalam pengolahan emosi dan kenikmatan, sehingga secara biologis memperdalam pengalaman seksual itu sendiri.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Archives of Sexual Behavior, vokalisasi seksual juga bisa berperan dalam "mengatur" durasi dan dinamika hubungan intim.
Bahkan menjadi bentuk "manipulasi positif" untuk mempercepat ejakulasi pasangan atau meningkatkan perasaan percaya diri. Ini menegaskan bahwa seks bukan hanya aktivitas fisik, tapi juga aktivitas psikologis yang kompleks.
Inez juga mengajak masyarakat untuk tak perlu malu mengeluarkan suara saat sedang menikmati hubungan intim, asalkan suara tersebut tulus dan bukan hasil rekayasa.
“Suara-suara itu dikeluarkanlah secara jujur. Artinya, kalau memang rasanya enak dan memang lebih mood kalau bersuara, gak usah malu untuk keluarkan. Supaya pasangan jadi tahu mana aja manuver-manuver yang kita suka,” paparnya.
- Istimewa
Namun, ia mengingatkan agar tidak membuat suara secara berlebihan karena seks sebaiknya tetap terasa alami dan tidak dibuat-buat.
Menariknya, Inez juga menyebut bahwa ada sebagian perempuan yang justru senang jika pasangannya juga ‘berisik’.
“Buat cowok-cowok, ada juga loh cewek yang suka kalo pasangannya agak ‘berisik’, jadi makin ‘hot’ katanya. Jadi jangan diem-diem amat,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi non-verbal saat bercinta bisa bersifat dua arah dan saling membangkitkan gairah.
Fenomena ini kembali menegaskan pentingnya keterbukaan dan komunikasi dalam hubungan intim.
Mengutip Inez Kristanti, “Yang penting, semua dilakukan dengan sadar, jujur, dan saling menghargai. Suara-suara yang muncul bukan sekadar efek dramatis, tapi bagian dari koneksi batin dan ekspresi psikologis yang sehat.”
Jadi, bila Anda atau pasangan ‘berisik’ di ranjang, itu mungkin saja bagian dari proses saling terhubung dan membangun kenyamanan bersama. (udn)
Load more