Jakarta - Tanda pagar (tagar) atau hashtag #StopAudism menggema setelah Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini memaksa anak tunarungu berbicara di peringatan Hari Disabilitas Internasional. Mereka mengecam tindakan Mensos Risma karena dianggap diskriminatif dan berperspektif audism.
Menurut Pusat Bahasa Isyarat Indonesia atau Pusbisindo, arti audism adalah adalah bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang Tuli.
Aktivis Tuli Surya Sahetapy menjelaskan contoh sikap yang menggambarkan audism melalui akun Instagramnya.
"(Orang) Tuli tidak mampu mencapai level orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, berkarier, berkemampuan finansial, berkomunikasi, dan lain-lain," kata Surya di akun Instagram @suryasahetapy.
Dia kemudian merincikan contoh audism lain seperti menganggap orang tuli tidak bisa setara dengan orang dengar.
"Tuli tidak bisa jadi guru, pilot, pengacara, dokter, dll; Tuli tidak bisa bawa mobil; Tuli tidak bisa kuliah; Tidak bisa berbicara, maka tidak punya masa depan; Bahasa Isyarat membuat orang malas berbicara; Tidak bisa berbaur dengan orang dengar; Tidak pakai alat bantu dengar, maka tidak sukses; dan semua orang Tuli harus dipaksa latihan berbicara supaya pintar dan sukses," ungkap putra Ray Sahetapy dan Dewi Yull yang tuli sejak lahir ini.
Menurut Surya, pemikiran audism menghambat kemajuan orang-orang Tuli-HoH (Hard of Hearing).
"Tipe orang memiliki sikap diskriminatif seperti ini biasa disebut audist. Semoga kakak-kakak online-ku bukan golongan audist," kata Surya.
Lelaki yang juga jebolan Institut Teknologi Rochester, New York, Amerika Serikat ini menjelaskan mengapa muncul audism.
"Karena sistem pendidikan dan sosial memisahkan Tuli-HoH dan non disabilitas dalam kehidupan. Kebanyakan orang non Tuli-HoH baru memahami Tuli-HoH pada usia dewasa apalagi belajar bahasa isyarat," tulisnya lagi.
Penyebab lain audism, menurut Surya, adalah karena tidak ada guru Tuli-HoH yang mengajarkan bahasa isyarat di sekolah umum, serta tidak ada pertukaran pelajar di antara sekolah Tuli-HoH dan umum (dengar, bukan normal).
Surya pun mengungkapkan bahwa dia terbiasa mendapat diskriminasi sebagai orang tuli. Usulan-usulannya kerap tidak didengar.
"Yes, ini sudah biasa. Biasanya orang dengar lebih mendengarkan orang dengar dibanding orang Tuli-HoH," ujarnya.
Itulah sebabnya dia mengubah strategi untuk menyampaikan pesan dan pemikirannya ke orang dengar kepada "Deaf Ally" atau orang-orang bersama komunitas tuli.
"Titipan melalui 'Deaf Ally' malah mau didengarkan. Lucu ya? Salah ya saya sebagai Tuli? Bukan begitu tapi ya karena audism sudah mendarah daging. Jangan salahkan orang tapi sistem di Indonesia sudah seperti itu dan harus kita rombak. Ya kan?" kata Surya. (act)
Load more