Jakarta - Ancaman krisis ekonomi dunia menjadi topik bahasan serius antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri. Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan ada "perubahan mendasar" dalam ekonomi global yang mendesak negara-negara untuk merespon cepat ancaman resesi global.
Presiden Jokowi bertemu Megawati Soekarnoputri selama dua jam di Batutulis, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/10/2022).
"Ibu Mega memang sangat menaruh perhatian terhadap krisis ekonomi dan pangan, dan beliau membagi pengalaman lengkap menuntaskan krisis multidimensional," kata Hasto.
Dalam pertemuan tersebut, kata Hasto, Megawati membagikan pengalamannya saat seluruh jajaran Kabinet Gotong Royong benar-benar fokus dan terpimpin sehingga pada tahun 2004 Indonesia bisa keluar dari krisis.
Hasto mengatakan dalam pertemuan empat mata itu, Jokowi pun menegaskan keseriusan Pemerintah, termasuk bagaimana para menteri harus fokus menangani berbagai tantangan perekonomian, krisis pangan-energi, dan tekanan internasional akibat pertarungan geopolitik.
Hasto menyebut dalam pertemuan tersebut, Megawati pun secara khusus menyiapkan makanan untuk menjamu Presiden Jokowi penuh dengan semangat kerakyatan. Mulai dari, jagung, kacang Bogor, pisang rebus, talas, dan nasi uduk.
Ia mengatakan bahwa Megawati sendiri sejak bulan Maret telah menginstruksikan untuk menanam 10 tanaman pendamping beras seperti pisang, jagung, talas, kacang-kacangan, ketela, sukun, sorgum, hingga porang.
“Apa yang dicanangkan Bu Mega sejak 2,5 tahun lalu kini terbukti, dunia menghadapi krisis pangan. Karena itulah Bu Mega menghidangkan makanan pendamping beras secara khusus ke Pak Jokowi, agar Indonesia benar-benar berdaulat di bidang pangan," katanya.
(Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Sumber: ANTARA)
Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada Kamis, ada "perubahan mendasar" dalam ekonomi global, mendesak negara-negara untuk menurunkan inflasi, menerapkan kebijakan fiskal yang bertanggung jawab, dan bersama-sama mendukung negara-negara emerging market dan berkembang.
Ekonomi global bergerak "dari dunia yang relatif mudah diprediksi - dengan kerangka kerja berbasis aturan untuk kerja sama ekonomi internasional, suku bunga rendah, dan inflasi rendah,
"ke dunia dengan lebih banyak kerapuhan - ketidakpastian yang lebih besar, volatilitas ekonomi yang lebih tinggi, konfrontasi geopolitik dan bencana alam yang lebih sering dan menghancurkan," kata Ketua IMF Kristalina Georgieva dalam pidato pembuka menjelang Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia 2022.
IMF juga menekankan urgensi untuk menstabilkan ekonomi, terlebih prospek global telah digelapkan oleh berbagai guncangan, diantaranya perang dan inflasi menjadi lebih persisten.
IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhannya sudah tiga kali sejak Oktober tahun lalu, menjadi hanya 3,2 persen untuk 2022 dan 2,9 persen untuk 2023, kata ketua IMF, menambahkan bahwa lembaga global itu akan menurunkan pertumbuhan untuk tahun depan dalam Prospek Ekonomi Dunia yang diperbarui pekan depan.
"Kami akan menandai bahwa risiko resesi meningkat," katanya.
IMF memperkirakan bahwa negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami setidaknya dua kuartal berturut-turut kontraksi tahun ini atau tahun depan.
"Dan, bahkan ketika pertumbuhan positif, itu akan terasa seperti resesi karena pendapatan riil menyusut dan harga-harga naik," tambahnya.
Secara keseluruhan IMF memperkirakan kerugian output global sekitar 4 triliun dolar AS antara sekarang dan 2026. Ini adalah ukuran ekonomi Jerman - kemunduran besar bagi ekonomi dunia.
Ketua IMF mendesak para pembuat kebijakan untuk tetap berada di jalur untuk menurunkan inflasi dan menerapkan kebijakan fiskal yang bertanggung jawab - kebijakan yang melindungi yang rentan, tanpa menambah memicu inflasi, sambil menyerukan upaya bersama untuk mendukung negara emerging market dan berkembang.
"Dolar yang lebih kuat, biaya pinjaman yang tinggi, dan arus keluar modal menyebabkan pukulan tiga kali lipat ke banyak negara emerging markets dan berkembang," kata Georgieva, mencatat bahwa kemungkinan arus keluar portofolio dari negara-negara emerging markets selama tiga kuartal berikutnya telah meningkat menjadi 40 persen, yang dapat menimbulkan "tantangan besar" bagi negara-negara dengan kebutuhan pendanaan eksternal besar.
Lebih dari seperempat negara berkembang telah gagal atau memiliki perdagangan obligasi pada tingkat yang tertekan; dan lebih dari 60 persen negara berpenghasilan rendah berada dalam - atau berisiko tinggi - kesulitan utang.
Ketua IMF mendesak negara-negara untuk bekerja sama mengatasi masalah-masalah seperti kerawanan pangan, yang sekarang mempengaruhi jumlah yang mengejutkan dari 345 juta orang, dan perubahan iklim, ancaman eksistensial bagi umat manusia.
Sejak pandemi dimulai, IMF telah memberikan 258 miliar dolar AS kepada 93 negara. Sejak perang Ukraina-Rusia, IMF telah mendukung 16 negara dengan hampir 90 miliar dolar AS. Ini merupakan tambahan dari alokasi Hak Penarikan Khusus (SDR) 650 miliar dolar AS tahun lalu.
(Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor (kiri) dalam konferensi pers Quarterly Update on ASEAN+3 Regional Economic Outlook 2022. Sumber: ANTARA(
Sementara itu, Kantor Riset Makroekonomi ASEAN+3 (AMRO) memproyeksikan Amerika Serikat (AS) dan Kawasan Eropa akan mengalami resesi pada akhir tahun 2023, atau tepatnya dalam 12 bulan hingga 18 bulan ke depan.
Kemungkinan perkiraan tersebut semakin meningkat memasuki akhir tahun 2022, dimana pada awalnya di Juni 2022 kemungkinan resesi kedua wilayah tersebut belum mencapai 50 persen.
"Bahkan khusus untuk AS, risiko resesi dalam 12 hingga 18 bulan ke depan meningkat hampir 80 persen, atau juga kemungkinan dengan Eropa," ucap Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor dalam konferensi pers "Quarterly Update on ASEAN+3 Regional Economic Outlook 2022" yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Sejauh ini, kata dia, AS masih bertahan cukup baik meskipun baru-baru ini terdapat pelonggaran di pasar tenaga kerja.
Namun, Bank Sentral AS, Federal Reserve (Fed) bertekad untuk menurunkan tingkat inflasi sehingga terdapat kekhawatiran global atas kebijakan tersebut.
Krisis energi Eropa mendorong kawasan Eropa lebih dekat ke resesi, sementara pengetatan moneter agresif The Fed meningkatkan risiko hard landing atau kesulitan mengakhiri periode kelebihan permintaan dan inflasi tanpa memicu resesi.
Khor menyebutkan pasar memperkirakan suku bunga acuan Fed akan meningkat ke kisaran level 4,5 persen, dimana saat ini sudah berada dalam rentang 2,25 persen sampai 2,5 persen.
Dengan peningkatan kekhawatiran resesi di Negeri Paman Sam dan Kawasan Eropa, lanjutnya, permintaan aset aman seperti dolar AS pun meningkat. Implikasinya, mata uang regional ASEAN+3 telah melemah, dengan pasar saham jatuh dan biaya pinjaman meningkat lebih tinggi.
"Saya pikir ada aksi jual besar-besaran dalam pergerakan pasar di kawasan ASEAN+3. Ini seperti aset risiko pasar ekuitas dan tekanan pada solvabilitas di pasar negara berkembang karena terdapat arus modal keluar dan suku bunga domestik juga telah naik," tuturnya. (ant/ito)
Load more