“Ini informasi yang luar biasa. Oleh karena itu, kalau besok ada yang bawa kita ke Badan Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) terkait hilirisasi, nah ini sebagai instrumen agar kita bagaimana bisa merasionalkannya," kata Bahlil.
Selanjutnya soal pemangkasan prosedur investasi bagi negara-negara G20, di mana banyak negara anggota G20 menyatakan betapa pentingnya pemangkasan terhadap birokrasi yang bertele-tele dan tidak transparan.
"Kita juga menyetujui dan memberikan contoh dari apa yang dilakukan Indonesia, dalam membuat Undang-undang (UU) Cipta Kerja dengan memangkas 79 UU dan sudah kita hasilkan. Itu salah satu bentuk dari proses transformasi yang kita lakukan terkait penyederhanaan," ujarnya.
Selanjutnya, kesepakatan soal investasi yang masuk harus berkolaborasi dengan pengusaha lokal atau UMKM. Kata Bahlil, isu ini juga menjadi tantangan besar untuk bisa disepakati, karena sebagian negara berpendapat bahwa proses tersebut diserahkan melalui mekanisme pasar.
Namun, negara-negara berkembang mampu meyakinkan untuk menjadikan hal itu sebagai konsensus, sekaligus menjadikan pengusaha UMKM dan pengusaha daerah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Berikutnya adalah tentang keadilan investasi, di mana 80 persen Growth Domestic Product (GDP) global dikuasai negara G20, tapi penyebaran investasinya tidak merata. "Kita akhirnya menyepakati juga bahwa penting adanya pemerataan investasi," ujar Bahlil.
Namun, menurut Bahlil, perjuangan Indonesia tentang harga karbon tak mencapai kesepakatan. “Jadi perjanjian Paris pasal 6 tentang keadilan dalam harga karbon, sudah kami perjuangkan namun belum ada kesepakatan. Tetapi penting mereka setujui bahwa keadilan investasi dan pemerataan harus kita lakukan," ujarnya. (hw/ppk)
Load more