Berdasarkan aturan tersebut harga BBM, kecuali minyak tanah yang nominal harganya ditentukan dan minyak solar yang mendapat subsidi maksimum seribu rupiah per liter, ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, dalam hal ini harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS).
“Berdasarkan aturan tersebut harga jual eceran BBM diubah setiap bulan sesuai dengan perubahan harga minyak di bursa Singapura. Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar,” papar Faisal.
Dalam catatannya, pencabutan subsidi ini berdampak besar pada pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp34,9 triliun pada 2015.
Dalam perjalanannya formula ini tak sepenuhnya berjalan, yaitu sejak adanya Perpres Nomor 43/2018 yang memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula.
Sejak ini, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium, atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.
“Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan pada dasarnya bentuk subsidi terselubung,” papar Faisal Basri.
Untuk itu, Faisal Basri mendorong agar Indonesia kembali ke upaya konsisten menghapus kebijakan subsidi secara bertahap, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi, dan peningkatan ketahanan energi.
Load more