DTSEN Jadi Acuan untuk Tetapkan Calon Siswa Sekolah Rakyat, Wamensos Agus Jabo: Menjemput Anak-Anak Paling Rentan
- Aldi Herlanda/tvOnenews.com
Jakarta, tvOnenews.com - Pemerintah saat ini terus memperluas akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem melalui program Sekolah Rakyat (SR).
Program ini menjadi langkah strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk menjamin seluruh anak Indonesia mendapatkan hak dasarnya atas pendidikan.
Melalui pendekatan berbasis data dan verifikasi lapangan, pemerintah ingin memastikan bahwa tidak ada anak miskin ekstrem yang tertinggal dari kesempatan memperoleh pendidikan yang layak.
Wakil Menteri Sosial RI, Agus Jabo Priyono, menegaskan bahwa tujuan utama program Sekolah Rakyat adalah memberi peluang seluas-luasnya bagi anak-anak marginal agar dapat bersekolah dan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Ia menilai program ini merupakan intervensi strategis negara untuk memangkas kesenjangan akses pendidikan.
“Semua anak Indonesia harus sekolah, baik yang kaya maupun yang miskin. Negara tidak boleh membiarkan satu pun anak tertinggal,” katanya dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) NgobrolINdonesia yang mengangkat tema 'Menembus Batas Lewat Sekolah Rakyat', dikutip Jumat (22/11/2025).
Berdasarkan data Kemensos, terdapat sekitar 4 juta anak Indonesia yang tidak sekolah, putus sekolah, atau belum pernah mengeyam pendidikan. Untuk menjangkau kelompok paling rentan, pemerintah menggunakan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sebagai acuan penetapan calon siswa. Pendekatan berbasis data ini membuat proses identifikasi anak dari keluarga miskin ekstrem menjadi lebih tepat.
Setelah itu, pendamping PKH, pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah melakukan verifikasi lapangan sebelum penetapan nama siswa. Mekanisme ini disusun agar program benar-benar menyasar anak-anak yang membutuhkan.
Agus Jabo menilai, penggunaan data terpadu menjadi fondasi penting dalam perbaikan tata kelola sasaran bantuan pendidikan.
“Untuk pertama kalinya, kita punya data tunggal yang membuat kita bisa menjemput anak-anak paling rentan secara tepat dan tidak salah sasaran,” kata dia.
Lingkungan belajar di Sekolah Rakyat dirancang sebagai boarding school, sehingga siswa tinggal di asrama dan mendapatkan pendampingan penuh setiap hari.
Meski ditujukan bagi keluarga miskin ekstrem, fasilitasnya dibuat setara dengan sekolah unggulan, mulai dari ruang kelas modern, laboratorium, perpustakaan, dapur, lapangan olahraga, hingga ruang ibadah.
Setiap siswa menerima laptop dan seragam lengkap untuk mendukung pembelajaran digital. Anak-anak juga mendapatkan makan tiga kali sehari dan dua kali snack, yang membuat kondisi gizi mereka meningkat. Dari berbagai pengamatan, Agus Jabo memaparkan bahwa perubahan perilaku mulai terlihat pada siswa yang sebelumnya hidup di situasi kurang kondusif, seperti bekerja serabutan, menjadi tukang parkir, atau pernah berhenti sekolah bertahun-tahun. Kini mereka belajar hidup disiplin dan berinteraksi positif di lingkungan asrama.
Ia menegaskan pentingnya peran para pendidik dalam proses transformasi tersebut. “Guru-guru di Sekolah Rakyat harus menjadi orang tua kedua—bukan sekadar mengajar, tetapi memulihkan, membimbing, dan menanamkan nilai hidup baru,” tegasnya.
Kurikulum Sekolah Rakyat disusun fleksibel melalui konsep multientry–multiexit, sehingga anak-anak dengan kemampuan akademik dan kondisi sosial yang beragam dapat mengikuti pembelajaran sesuai ritme masing-masing. Siswa juga dibekali pendidikan karakter, kedisiplinan, serta keterampilan vokasi yang disesuaikan dengan potensi daerah, seperti perikanan di wilayah pesisir atau pertanian di kawasan agraris.
Pendekatan ini membuat siswa tidak hanya menerima pelajaran akademik, tetapi juga menguasai keterampilan praktis yang dapat menjadi bekal hidup setelah lulus. Menurut Agus Jabo, hal inilah yang menjadi pembeda Sekolah Rakyat dengan sekolah umum.
“Anak-anak harus pintar, berkarakter, dan terampil, tiga syarat agar mereka benar-benar siap keluar dari lingkaran kemiskinan,” imbuh dia.
Intervensi program tidak hanya menyasar siswa, tetapi juga keluarga mereka. Kementerian Sosial memberdayakan orang tua dan membantu memperbaiki rumah tidak layak huni. Salah satunya dialami seorang ibu di Temanggung dengan penghasilan sekitar Rp900.000 per bulan yang hidup bersama empat anaknya. Perbaikan rumah dan pendampingan keluarga membuatnya kembali memiliki harapan.
Menurut Agus Jabo, pendekatan menyeluruh ini dirancang agar anak dapat belajar tanpa beban ekonomi keluarga.
“Anaknya kita sekolahkan, orang tuanya kita berdayakan, rumahnya kita perbaiki. Begitulah cara kita memastikan mereka tidak kembali ke lingkaran kemiskinan,” jelasnya.
Ia menuturkan, berbagai upaya tersebut mulai menunjukkan hasil. Banyak siswa yang awalnya malu atau tidak percaya diri kini mulai berani bermimpi dan menyampaikan cita-citanya.
Anak-anak yang sebelumnya belum bisa membaca kini mengalami peningkatan akademik signifikan, sementara pemenuhan gizi membuat kondisi fisik mereka jauh lebih sehat.
“Perubahan mereka luar biasa. Dari anak yang kehilangan arah menjadi anak yang kembali berani bermimpi,” ucap dia.
Agus Jabo menyebut keberhasilan di tahun pertama tidak terlepas dari kerja sama lintas kementerian dan dukungan pemerintah daerah. Pemerintah berhasil membangun 166 sekolah rintisan, melampaui target awal 100 sekolah yang ditetapkan Presiden.
Ke depan, pemerintah menargetkan setiap kabupaten/kota memiliki minimal satu Sekolah Rakyat sebagai bentuk pemerataan akses pendidikan.
Untuk memastikan masa depan lulusan, Kementerian Sosial menggandeng BUMN, perusahaan swasta, dan perguruan tinggi. Siswa berprestasi disiapkan jalur masuk tanpa tes, sementara peluang kerja difasilitasi bagi mereka yang ingin langsung bekerja.
“Tidak ada gunanya membangun sekolah jika setelah lulus mereka kembali ke habitat kemiskinan. Masa depan mereka harus dipastikan sejak sekarang,” pungkas Agus Jabo. (rpi)
Load more