Tarif Resiprokal AS Dinilai Tidak Berdasar, Ekonom Soroti Ketimpangan Formula Perdagangan
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat kembali menjadi sorotan tajam. Kali ini, kritik datang dari kalangan ekonom dalam negeri yang menilai bahwa kebijakan tersebut tidak memiliki dasar perhitungan ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menyatakan bahwa metode yang digunakan oleh Amerika Serikat dalam menentukan besaran tarif terhadap negara mitra dagang, termasuk Indonesia, tidak didasarkan pada logika atau kaidah ekonomi yang jelas.
“Perhitungannya tidak memiliki satu basis ekonomi yang jelas,” ujar Fadhil dalam diskusi publik bertajuk Waspada Genderang Perang Dagang yang diselenggarakan oleh Indef di Jakarta, Jumat (4/4).
Indonesia saat ini menempati posisi ke-8 dalam daftar negara yang terkena kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat, dengan besaran tarif mencapai 32 persen.
Kritik Terhadap Metodologi Penghitungan
Fadhil menjelaskan bahwa Amerika Serikat menetapkan tarif berdasarkan selisih neraca perdagangan, bukan berdasarkan tarif aktual yang dikenakan oleh Indonesia terhadap produk asal Amerika. Menurut data yang disampaikan, tarif yang dikenakan Indonesia terhadap barang-barang dari AS hanya berkisar antara 8 hingga 9 persen. Namun, pemerintah AS mengklaim bahwa Indonesia menerapkan tarif sebesar 64 persen.
Angka tersebut diperoleh melalui metode yang dinilai keliru, yaitu dengan membagi surplus perdagangan Indonesia terhadap AS yang mencapai 16,8 miliar dolar AS dengan total impor AS dari Indonesia senilai 28 miliar dolar AS. Hasil perhitungan inilah yang kemudian dijadikan dasar penetapan tarif oleh otoritas perdagangan AS.
“Langkah ini menyamakan surplus dagang dengan tarif perdagangan, suatu pendekatan yang bertentangan dengan prinsip dasar ekonomi internasional,” jelas Fadhil.
Isu Currency Manipulation dan NTB
Selain menggunakan perhitungan defisit perdagangan sebagai dasar tarif, pemerintah AS juga memasukkan unsur manipulasi nilai tukar (currency manipulation) serta hambatan non-tarif (non-trade barriers/NTB) dalam justifikasi mereka. Padahal, menurut Fadhil, NTB merupakan aspek yang sangat kompleks untuk diukur dan tidak bisa serta-merta dijadikan acuan kebijakan tarif.
Kritik terhadap kebijakan ini tidak hanya datang dari luar Amerika. Sejumlah ekonom dalam negeri AS juga mempertanyakan validitas pendekatan tersebut. Seorang profesor dari University of Michigan bahkan menyarankan agar para ekonom di balik kebijakan Presiden Donald Trump sebaiknya mengundurkan diri karena telah menyusun formula tarif yang tidak memiliki landasan ilmiah.
Implikasi Global dan Respons Negara Mitra
Fadhil menegaskan bahwa kebijakan sepihak ini tidak hanya merugikan negara mitra dagang, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem perdagangan global yang selama ini dibangun berdasarkan prinsip transparansi dan keadilan.
“Bukan hanya Indonesia yang keberatan. Banyak negara lain dan ekonom internasional yang mempertanyakan validitas pendekatan ini. Jika kebijakan ini terus diberlakukan tanpa evaluasi, maka akan muncul ketegangan yang lebih besar dalam hubungan dagang global,” tambahnya.
Dalam situasi ini, menurut Fadhil, diperlukan diplomasi dagang yang kuat serta upaya multilateral untuk meninjau ulang mekanisme perdagangan internasional agar tidak diwarnai oleh praktik-praktik yang merusak prinsip dasar ekonomi. (nsp)
Load more