Profil PT Pertamina Patra Niaga, Anak Perusahaan BUMN dalam Pusaran Kasus Korupsi Minyak Mentah yang Rugikan Negara Rp193,7 Triliun
- ANTARA
Jakarta, tvOnenews.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 7 tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, kasus korupsi ini menyebakan negara merugi hingga Rp193,7 triliun.
"Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari berbagai komponen," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, dikutip Selasa (25/2/2025).
Qohar menyebut kerugian tersebut berasal dari berbagai komponen seperti impor minyak, impor BBM lewat broker, dan pemberian subsidi.
Dia menjelaskan, kasus ini bermula ketika dalam periode 2019-2023, pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah harus dari dalam negeri.
Lantas, PT Pertamina mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Salah satu tersangka dalam kasus tersebut adalah Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.
Riva bersama dua tersangka lainnya, yaitu Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin dan Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono diduga melakukan pengkondisian saat rapat organisasi hilir (ROH).
Rapat tersebut memutuskan agar produksi kilang diturunkan untuk membuat hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.
"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ujar Qohar.
Qohar menambahkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS dengan sengaja ditolak karena keputusan ROH sebelumnya.
Penolakan dilakukan dengan dalih produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis meski kenyataannya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).
Selain itu, penolakan juga dilandasi dalih produksi minyak mentah KKKS tidak sesuai spesifikasi meski faktanya berbanding terbalik.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.
Alhasil PT Kilang Pertamina melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang di mana terjadi perbedaan harga signifikan dibandingkan harga dalam negeri.
Dalam kegiatan ekspor minyak diduga ada main mata antar para tersangka di mana Rivan, Sani, Agus, dan Dirut PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, telah mengatur kesepakatan harga dengan broker.
Broker yang juga ditetapkan menjadi tersangka tersebut adalah beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Keery Andrianto Riza; Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadan Joede.
Qohar mengatakan para tersangka tersebut memainkan harga untuk kepentingan prbiadinya sehingga merugikan negara. Rivan bersama dengan Sani dan Agus pun lantas memenangkan broker minyak mentah tersebut.
Tak cuma itu, rangkaian perbuatan tersangka yang juga dilakukan yaitu dugaan mark up kontrak pengiriman minyak impor
"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.
Perbuatan para tersangka ini pun membuat negara harus merugi lantaran pemerintah perlu memberikan subsidi lebih tinggi dari APBN imbas permainan harga yang dilakukan sehingga harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat mengalami kenaikan.
Profil PT Pertamina Patra Niaga
Pertamina Patra Niaga merupakan Subholding Commercial & Trading dari PT Pertamina (Persero), yang menjalankan bisnis hilir Pertamina mulai dari penerimaan, penimbunan dan penyaluran produk BBM, LPG, pelumas dan petrokimia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun di luar negeri.
PT Pertamina Patra Niaga juga berperan dalam mendukung kelancaran distribusi energi ke berbagai sektor penting seperti ritel, industri, aviasi dan maritim.
Pada 7 Februari 1997, PT Pertamina Patra Niaga awalnya didirikan dan terdaftar sebagai PT. Elnusa Harapan, dengan pemegang saham Pertamina dan Yayasan Kesejahteraan Pegawai Pertamina (YKPP).
Kemudian pada 4 Mei 2004, mengubah nama perusahaan menjadi PT Patra Niaga dan melakukan upaya pertumbuhan setelah Peraturan Migas No. 22 dalam hal Menstabilkan hilir sektor Migas, dengan fokus pada penyimpanan bahan bakar untuk industri serta memperkuat level manajemen.
Pada 2012, perusahaan bertransformasi menjadi PT Pertamina Patra Niaga dengan fokus bisnis dalam manajemen terminal minyak, manajemen armada serta ekspansi perdagangan bahan bakar. Meningkatkan modal usaha dan mengalami pergantian pemegang saham menjadi Pertamina: 99.82% dan PTK: 0.18%.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2013, perusahaan melakukan perluasan bisnis Polypropylene (PP) dan Polyethylene (PE) dengan PTT Thailand. Dengan mengembangkan penyimpanan terapung, memperluas layanan bunkering, mengelola Depot LPG dan KSO depot Pertamina serta mengembangkan skema layanan Vendor Held Stock (VHS) dan mengelola Transportasi APMS.
Selanjutnya, pada 2020 PT Pertamina Patra Niaga telah ditunjuk sebagai Subholding Commercial & Trading secara virtual di samping mengelola bisnis dan operasional eksisting perusahaan.
Barulah pada 2021, State PT Pertamina Patra Niaga leggal menjadi Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero). (nba)
Load more